Kategori: Uncategorized

  • BAPAK DIRGANTARA BANGSA SANG PENGGANTI “BJ.HABIBIE”

    BAPAK DIRGANTARA BANGSA SANG PENGGANTI “BJ.HABIBIE”

    Bacharuddin Jusuf Habibie  (25 Juni 1936 – 11 September 2019) adalah Presiden Indonesia ketiga yang menjabat sejak 21 Mei 1998 sampai dengan 20 Oktober 1999. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia ketujuh, menggantikan Try Sutrisno. B. J. Habibie menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri dari jabatan presiden pada tanggal 21 Mei 1998. Sebelum memasuki dunia politik, Habibie dikenal luas sebagai seorang profesor dan ilmuwan dalam teknologi aviasi internasional dan satu-satunya presiden Indonesia hingga saat ini yang berlatar belakang teknokrat.

    B.J. Habibie kemudian digantikan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang terpilih sebagai presiden pada 20 Oktober 1999 oleh MPR hasil Pemilu 1999. Dengan menjabat selama 2 bulan dan 7 hari (sebagai wakil presiden) dan juga selama 1 tahun dan 5 bulan (sebagai presiden), B. J. Habibie merupakan Wakil Presiden dan juga Presiden Indonesia dengan masa jabatan terpendek. B. J. Habibie merupakan presiden Indonesia pertama yang terlahir di luar Jawa, tepatnya di Parepare, Sulawesi Selatan. Ia berasal dari etnis Bugis-Gorontalo dari garis keturunan ayahnya yang berasal dari Kabila, Gorontalo dan etnis Jawa dari ibunya yang berasal dari Yogyakarta

    Keluarga dan pendidikan

    Keluarga

    Bacharuddin Jusuf Habibie (B. J. Habibie) merupakan anak keempat dari delapan bersaudara, pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo. Ayahnya yang berprofesi sebagai ahli pertanian yang berasal dari etnis Bugis-Gorontalo,sedangkan ibunya berasal dari etnis Jawa.

    Menurut wawancara pribadinya bersama Jawa Pos pada tahun 2016, kedua orangtuanya terpaksa meninggalkan keluarga besar mereka karena masalah perbedaan budaya. Alwi, yang merupakan orang Bugis-Gorontalo, tidak diterima oleh keluarga Tuti yang berasal dari ningrat Jogjakarta, demikian pula sebaliknya. Dalam wawancara tersebut, Habibie menjelaskan bahwa keluarganya mempertahankan kebiasaan menikah di dalam keluarga untuk menjaga kepemilikan tanah atau harta. Ini dilakukan agar tidak ada perebutan harta atau tanah oleh pihak luar.

    Alwi Abdul Jalil Habibie (ayah dari B.J. Habibie) memiliki marga “Habibie”, salah satu marga asli dalam struktur sosial Pohala’a (Kerajaan dan Kekeluargaan) di Gorontalo.Sementara itu, R.A. Tuti Marini Puspowardojo (ibu dari B.J. Habibie) merupakan anak seorang dokter spesialis mata di Yogyakarta dan ayahnya yang bernama Puspowardojo bertugas sebagai pemilik sekolah.

    Marga Habibie dicatat secara historis berasal dari wilayah Kabila, sebuah daerah di Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. Garis keturunannya dimulai dari Lamakasa, seorang Bugis yang menetap di Gorontalo dan menikahi seorang wanita lokal bernama Hawaria. Mereka memiliki beberapa anak, salah satunya adalah Habibie. Alwi Abdul Jalil Habibie, lahir pada tahun 1908, adalah keturunan dari Lamakasa.Dari silsilah keluarga, kakek dari B.J. Habibie merupakan seorang pemuka agama, anggota majelis peradilan agama, serta salah satu pemangku adat Gorontalo yang tersohor pada saat itu. Keluarga besar Habibie di Gorontalo terkenal gemar beternak sapi, memiliki kuda dalam jumlah yang banyak, serta memiliki perkebunan kopi.

    Pernikahan

    Perkenalan keduanya bermula sejak masih remaja, ketika keduanya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama hingga berlanjut ketika bersekolah di SMA Kristen Dago Bandung, Jawa Barat. Komunikasi mereka akhirnya terputus setelah Habibie melanjutkan kuliah dan bekerja di Jerman Barat, sementara Ainun tetap di Indonesia dan berkuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

    B.J. Habibie menikah dengan Hasri Ainun Besari pada tanggal 12 Mei 1962 di Ranggamalela, Bandung. Akad nikah Habibie dan Ainun digelar secara adat dan budaya Jawa, sedangkan resepsi pernikahan digelar keesokan harinya dengan adat dan budaya Gorontalo di Hotel Preanger.

    Ketika menikah dengan Habibie, Ainun dihadapkan dengan dua pilihan, memilih untuk tetap bekerja di rumah sakit anak-anak di Hamburg atau berperan serta berkarya di belakang layar sebagai istri dan ibu rumah tangga.

    Dari pernikahan keduanya, Habibie dan Ainun dikaruniai dua orang putra, yaitu Ilham Akbar Habibie dan Thareq Kemal Habibie

    Pendidikan

    Habibie belajar tentang keilmuan teknik mesin di Fakultas Teknik Universitas Indonesia Bandung (sekarang Institut Teknologi Bandung) pada tahun 1954. Pada 1955–1965, Habibie melanjutkan studi teknik penerbangan, spesialisasi konstruksi pesawat terbang, di RWTH Aachen, Jerman Barat. Menerima gelar diploma insinyur pada 1960 dan gelar doktor insinyur pada 1965 dengan predikat summa cum laude.

    Gelar Adat

    Dalam ingatan masyarakat Gorontalo, Habibie telah menerima gelar adat tertinggi dari persekutuan 5 Kerajaan Adat Gorontalo.

    Gelar adat tertinggi ini jarang diberikan kepada seseorang kecuali memiliki karya pengabdian yang tinggi kepada tanah leluhur, agama, bangsa, dan negara, yaitu:

    • Gelar adat Pulanga, “Ti Tilango Lo Mandala” yang berarti Sang Cahaya Negeri
    • Gelar adat Gara’i, “Ta Lopo Rolade Tilango” yang berarti Sang pemberi Cahaya dengan ilmu yang dimilikinya”

    Pekerjaan dan karir

    Habibie pernah bekerja di Messerschmitt-Bölkow-Blohm, sebuah perusahaan penerbangan yang berpusat di Hamburg, Jerman Barat. Pada tahun 1973, ia kembali ke Indonesia atas permintaan Presiden Soeharto untuk bekerja di dalam pemerintahan. Ia tiba di Indonesia pada tanggal 14 Desember 1973. Pekerjaan pertama yang diberikan kepadanya ialah sebagai Kepala Divisi Teknologi Maju dan Teknologi Penerbangan di Pertamina. Jabatannya merupakan bagian dari Departemen Pertambangan dan Energi. Masa jabatannya hanya berlangsung singkat

    Habibie kemudian menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) sejak tahun 1978 sampai Maret 1998. Gebrakan B. J. Habibie saat menjabat Menristek diawalinya dengan keinginannya untuk mengimplementasikan “Visi Indonesia”. Menurut Habibie, lompatan-lompatan Indonesia dalam “Visi Indonesia” bertumpu pada riset dan teknologi, khususnya pula dalam industri strategis yang dikelola oleh PT IPTN, PT Pindad, dan PT PAL.Targetnya, Indonesia sebagai negara agraris dapat melompat langsung menjadi negara industri dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

    Sementara itu, ketika menjabat sebagai Menristek, Habibie juga terpilih sebagai Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang pertama. Habibie terpilih secara aklamasi menjadi Ketua ICMI pada tanggal 7 Desember 1990.

    Puncak karier Habibie terjadi pada tahun 1998, dimana saat itu ia diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999), setelah sebelumnya menjabat sebagai Wakil Presiden ke-7 (menjabat sejak 14 Maret 1998 hingga 21 Mei 1998) dalam Kabinet Pembangunan VII di bawah Presiden Soeharto

    Riwayat pekerjaan

    Riwayat karir profesional Habibie

    • 1960–1965 Assistent Riset, Lehrstuhl und Institut für Leichtbau (Pimpinan dann Lembaga Konstruksi Ringan), Rheinisch-Westfaelische Technische Hochschule (RWTH), Aachen, Jerman – sekarang Universitas Teknologi Rhein Westfalen Aachen;
    • 1965-1966 Special Scientist, Hamburger Flugzeugbau (HFB) GmbH, Hamburg, Jerman;
    • 1966–1969 Kepala, Bagian Penelitian dan Pengembangan Analisis Struktur, HFB GmbH, Hamburg, Jerman – 1968 Messerschmitt AG merger dengan Bolkow GmbH menjadi Messerschmitt-Bolkow GmbH – 1969 Messerschmitt-Bolkow GmbH merger dengan Hamburger Flugzeugbau menjadi Messerschmitt-Bolkow-Blohm (MBB) GmbH;
    • 1969–1973 Kepala, Divisi Metode dan Teknologi Pesawat Angkut Niaga dan Militer, MBB GmbH, Hamburg, Jerman;
    • 1974–1978 VP, Direktorat Penerapan Teknologi, MBB GmbH, Hamburg, Jerman;
    • 1974-1998 Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) – berawal dengan 5 Jan’74 menjadi Penasehat Direktur Utama PN Pertamina dan Penasehat Presiden hingga pada Mei’74 membentuk dan menjadi Kepala Divisi Teknologi dan Teknologi Penerbangan (HTTP) PN Pertamina – lalu pada 1 Apr’76 ATP menjadi Divisi Advance Teknologi PN Pertamina (ATP) – kemudian pada 21 Agu’78 menjadi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi;
    • 1976-1998 Direktur Utama PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio (Persero) – dibentuk 26 Apr’76 sebagai penggabungan unsur Teknologi Penerbangan Divisi HTTP  PN Pertamina dengan Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio (LIPNUR) – sekarang PT Dirgantara Indonesia (Persero);
    • 1978-1998 Direktur Utama Perum Dok dan Galangan Kapal – dibentuk 29 Mar’78 dari Komando Penataran Angkatan Laut (KONATAL), sebelum 1970 bernama Penataran Angkatan Laut (PAL) – sekarang PT PAL Indonesia (Persero);
    • 1978-1998 Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (Otorita Batam) – sekarang Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam);
    • 1983-1998 Direktur Utama PT Pindad (Persero) – dibentuk 29 Apr’83 dari Perindustrian TNI Angkatan Darat (Pindad);
    • 1984-1998 Ketua Dewan Riset Nasional – peningkatan dari Tim Perumus Program Utama Nasional Riset dan Teknologi (PUNAS RISTEK) yang dibentuk 11 Mei’78;
    • 1989-1998 Ketua Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) dan Wakil Ketua Dewan Pembina Industri Strategis (DPIS);

    Riwayat karier pemerintahan

    • Menteri Negara Riset dan Teknologi Kabinet Pembangunan III (1978–1983);
    • Menteri Negara Riset dan Teknologi Kabinet Pembangunan IV (1983–1988);
    • Menteri Negara Riset dan Teknologi Kabinet Pembangunan V (1988–1993);
    • Menteri Negara Riset dan Teknologi Kabinet Pembangunan VI (1993–1998);
    • Ketua Tim Keputusan Presiden (Keppres) 35;
    • Wakil Presiden RI (1998);
    • Presiden RI (1998–1999).

    Masa kepresidenan

    Habibie mewarisi kondisi keadaan negara kacau balau pasca pengunduran diri Soeharto pada masa Orde Baru sehingga menimbulkan maraknya kerusuhan dan disintegrasi hampir seluruh wilayah Indonesia. Segera setelah memperoleh kekuasaan, Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.

    Pada era pemerintahannya yang singkat, ia berhasil memberikan landasan kokoh bagi Indonesia. Pada eranya, dilahirkan UU Anti-Monopoli atau UU Persaingan Sehat, perubahan UU Partai Politik, dan yang paling penting adalah UU Otonomi Daerah. Melalui penerapan UU Otonomi Daerah inilah gejolak disintegrasi yang diwarisi sejak era Orde Baru berhasil diredam dan akhirnya dituntaskan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tanpa adanya UU Otonomi Daerah, bisa dipastikan Indonesia akan mengalami nasib sama seperti Uni Soviet dan Yugoslavia.

    Pengangkatan B.J. Habibie sebagai Presiden menimbulkan berbagai macam kontroversi bagi masyarakat Indonesia. Pihak yang pro menganggap pengangkatan Habibie sudah konstitusional. Hal itu sesuai dengan ketentuan pasal 8 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “bila Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya”. Sedangkan pihak yang kontra menganggap bahwa pengangkatan B.J. Habibie dianggap tidak konstitusional. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 9 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Sebelum presiden memangku jabatan, maka presiden harus mengucapkan sumpah atau janji di depan MPR atau DPR”

    Akhir jabatan

    Menurut pihak oposisi, salah satu kesalahan terbesar yang ia lakukan saat menjabat sebagai Presiden ialah memperbolehkan diadakannya referendum provinsi Timor Timur (sekarang Timor Leste). Ia mengajukan hal yang cukup menggemparkan publik saat itu, yaitu mengadakan jajak pendapat bagi warga Timor Timur untuk memilih merdeka atau masih tetap menjadi bagian dari Indonesia. Pada masa kepresidenannya, Provinsi Timor Timur memperoleh kemerdekaan dari Indonesia dan memilih menjadi negara terpisah yang berdaulat bernama Timor Leste pada Agustus 1999. Pemisahan diumumkan pada tanggal 30 Agustus 1999.

    Kasus inilah yang mendorong pihak oposisi yang tidak puas dengan latar belakang Habibie semakin giat menjatuhkannya.Ketika Habibie menjadi salah satu kandidat dalam pencalonan dan pemilihan presiden oleh MPR pada tahun 1999, pencalonannya ditentang oleh sebagian besar anggota DPR. Dirinya ditentang karena dianggap masih merupakan bagian dari rezim Orde Baru. Penentangan ini datang dari anggota DPR dari partai pengusungnya yaitu Partai Golongan Karya, dan dari anggota DPR lainnya. Kondisi ini juga membuat laporan pertanggung jawaban Habibie sebagai presiden mengalami penolakan pada Sidang Umum MPR tahun 1999. Karena penolakan ini, Habibie mengundurkan diri dari pencalonannya sebagai presiden.

    Pandangan terhadap pemerintahan Habibie pada era awal reformasi cenderung bersifat negatif, tapi sejalan dengan perkembangan waktu banyak yang menilai positif pemerintahan Habibie. Salah satu pandangan positif itu dikemukakan oleh L. Misbah Hidayat dalam bukunya Reformasi Administrasi: Kajian Komparatif Pemerintahan Tiga Presiden.

    Visi, misi dan kepemimpinan presiden Habibie dalam menjalankan agenda reformasi memang tidak bisa dilepaskan dari pengalaman hidupnya. Setiap keputusan yang diambil didasarkan pada faktor-faktor yang bisa diukur. Maka tidak heran tiap kebijakan yang diambil kadangkala membuat orang terkaget-kaget dan tidak mengerti. Bahkan sebagian kalangan menganggap Habibie apolitis dan tidak berperasaan. Pola kepemimpinan Habibie seperti itu dapat dimaklumi mengingat latar belakang pendidikannya sebagai doktor di bidang konstruksi pesawat terbang. Berkaitan dengan semangat demokratisasi, Habibie telah melakukan perubahan dengan membangun pemerintahan yang transparan dan dialogis. Prinsip demokrasi juga diterapkan dalam kebijakan ekonomi yang disertai penegakan hukum dan ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Dalam mengelola kegiatan kabinet sehari-hari pun, Habibie melakukan perubahan besar. Ia meningkatkan koordinasi dan menghapus egosentisme sekotral antar menteri. Selain itu sejumlah kreativitas mewarnai gaya kepemimpinan Habibie dalam menangani masalah bangsa. Untuk mengatasi persoalan ekonomi, misalnya, ia mengangkat pengusaha menjadi utusan khusus. Dan pengusaha itu sendiri yang menanggung biayanya. Tugas tersebut sangat penting, karena salah satu kelemahan pemerintah adalah kurang menjelaskan keadaan Indonesia yang sesungguhnya pada masyarakat internasional. Sementara itu pers, khususnya pers asing, terkesan hanya mengekspos berita-berita negatif tentang Indonesia sehingga tidak seimbang dalam pemberitaan.

    REMPAT BERMAIN SLOT YANG ASIK : PANGLIMA79

  • PRESIDEN YANG MERUBAH SEJARAH “SOEHARTO”

    PRESIDEN KE 2 INDONESIA YANG MERUBAH SEJARAH SOEHARTO

    Soeharto (8 Juni 1921 – 27 Januari 2008) adalah Presiden Indonesia kedua yang menjabat sejak tahun 1968 sampai 1998. Sebelumnya ia pernah menjabat sebagai pejabat presiden sebelum akhirnya diangkat menjadi presiden. Secara luas ia dianggap sebagai diktator militer oleh pengamat internasional. Soeharto memimpin Indonesia sebagai rezim otoriter sejak kejatuhan pendahulunya Soekarno pada tahun 1967 hingga pengunduran dirinya pada tahun 1998 menyusul kerusuhan nasional.Kediktatorannya selama 32 tahun dianggap sebagai salah satu kediktatoran paling brutal dan korup di abad ke-20

    Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa Hindia Belanda dan Kekaisaran Jepang, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Setelah Gerakan 30 September 1965, Soeharto kemudian melakukan operasi penertiban dan pengamanan atas perintah dari Presiden Soekarno, salah satu yang dilakukannya adalah dengan menumpas Gerakan 30 September dan menyatakan bahwa PKI sebagai organisasi terlarang. Berbagai kontroversi menyebut operasi ini menewaskan sekitar 100.000 hingga 2 juta jiwa

    Soeharto kemudian diberi mandat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) sebagai Presiden pada 26 Maret 1968 menggantikan Soekarno, dan resmi menjadi presiden pada tahun 1968. Ia dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia merupakan orang terlama yang menjabat sebagai presiden Indonesia. Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie.

    Keluarga

    Orang Tua

    Soeharto lahir pada tanggal 8 Juni 1921 dari seorang wanita yang merupakan ibunya, yang bernama Sukirah di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta. Kelahiran itu dibantu dukun beranak bernama Mbah Kromodiryo yang juga adalah adik kakek Sukirah, Mbah Kertoirono

    Dalam otobiografinya, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, yang disusun G. Dwipayana, Sukirah digambarkan oleh Soeharto sebagai ibu muda yang sedang sulit memikirkan masalah-masalah rumah tangga. Namun, banyak catatan di buku-buku sejarah Soeharto lain yang banyak menyebutkan Sukirah sedang mengalami masalah mental yang amat sulit. Sebelum Soeharto (yang lahir 8 Juni 1921) berumur 40 hari, Sukirah harus menghadapi talak suaminya, Kertosudiro

    Kertosudiro, seorang mantri ulu-ulu (pengatur irigasi) miskin yang kelak sebagai ayah Soeharto, tidak memainkan peran banyak dalam kehidupan Soeharto. Bahkan, banyak pengamat Soeharto, seperti R.E. Elson, beberapa biografi dan orang dekatnya, termasuk mantan Menteri Penerangan yang dekat dengan Soeharto, Mashuri, meyakini bahwa Kertosudiro bukanlah ayah kandung Soeharto. Pada tahun 1974, pernah muncul pemberitaan yang menghebohkan dari majalah gosip bernama ‘POP’ dengan liputan yang menurunkan kisah lama yang beredar bahwa Soeharto adalah anak dari Padmodipuro, seorang bangsawan dari trah Hamengkubuwono II.Soeharto kecil yang berumur 6 tahun dibuang ke desa dan diasuh oleh Kertosudiro. Hal ini kemudian dibantah keras oleh Soeharto. Dengan separuh murka, Soeharto mengadakan konferensi pers di Bina Graha bahwa liputan mengenai asal usul dirinya yang anak bangsawan bisa saja merupakan tunggangan untuk melakukan subversif. Soeharto dengan caranya sendiri ingin mengesankan bahwa dia adalah anak desa.

    Ketidakjelasan asal-usul Soeharto secara genealogi sampai sekarang masih belum terpecahkan.Namun, dari semua itu, bayi Soeharto berada di dunia dengan kondisi keluarga yang kurang menguntungkan. Sukirah yang tertekan dan senang bertapa pernah ditemukan hampir mati di suatu tempat karena memaksa dirinya berpuasa ngebleng (tidak makan dan minum selama 40 hari) di suatu tempat yang tersembunyi, dan hilangnya sempat pernah membuat panik penduduk desa Kemusuk sehingga para penduduk mencarinya. Sadar dengan kondisi Sukirah yang kurang baik, keluarga Sukirah akhirnya memutuskan untuk menyerahkan pengurusan bayi Soeharto kepada kakak perempuan Kertosudiro

    Istri dan anak-anak

    Pada bulan Oktober 1947, Soeharto didatangi oleh keluarga Prawirowihardjo yang tidak lain merupakan paman sekaligus orang tua angkatnya. Mereka berencana menjodohkan Soeharto dengan Raden Ayu Siti Hartinah, anak KRMT Soemoharyomo. Soemoharyomo adalah seorang Wedana di Solo. Soeharto yang kala itu sudah berusia 26 tahun mengaku belum memiliki calon, bahkan ia juga belum pernah menjalin hubungan asmara dengan wanita manapun. Keluarganya khawatir jika Soeharto bakal menjadi bujang lapuk, mengingat mereka telah lama mengenal sifat Soeharto yang sangat pendiam, pasif dan cenderung pemalu. Akhirnya, rencana perjodohan keluarga Prawirodihardjo tersebut berjalan dengan lancar

    Tanpa melalui proses pacaran, perkawinan antara Letnan Kolonel (Letkol) Soeharto dengan Siti Hartinah (yang kemudian dikenal dengan Tien Soeharto) segera dilangsungkan pada 26 Desember 1947 di Solo. Ketika itu, usia Soeharto 26 tahun, sedangkan Siti Hartinah berusia 24 tahun. Pasangan ini dikarunia enam putra-putri, yaitu Siti Hardiyanti Hastuti (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Hariyadi (Titiek), Hutomo Mandala Putra (Tommy), dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek)

    Kehidupan awal

    Masa kecil dan pendidikan

    Soeharto tidak seperti anak desa lainnya yang harus bekerja di sawah. Dalam usia yang sangat muda, ia disekolahkan oleh Kertosudiro. Tidak ada berita-berita mengenai masa Soeharto di Sekolah Rakyat (setingkat SD). Kesan Soeharto pada masa SD itu hanya pada ingatannya tentang kerbau-kerbaunya. Dunia Soeharto hanya berkutat pada penggembalaan kerbau, jauh dari cerita-cerita anak yang didapat dari buku-buku yang kerap dibaca anak-anak SD. Hal ini berbeda misalnya dengan cerita Soekarno sewaktu dia masih di SD yang banyak berkisah tentang masa sekolahnya dan apa yang dibacanya, begitu juga dengan Hatta dan Sjahrir yang sejak kecil sudah akrab dengan Karl May atau cerita dari novel-novel Charles Dickens

    Masa kecil Soeharto begitu banyak menyimpan kenangan pahit. Bukan hanya pahit, tapi juga menyakitkan hatinya. Seperti yang dialaminya saat SD, Soeharto kerap menjadi korban perundungan dari kawan-kawannya. Kelak, walau sudah berpuluh-puluh tahun perundungan itu masih terekam di kepalanya. Seperti, ejekan “Den Bagus tahi mabul! Den Bagus tahi mabul” dan “Harto sirah gede!”. Hal tersebut membuat Soeharto kecil dikenal sebagai siswa yang sangat pendiam dan tertutup, bahkan paling pendiam diantara kawan-kawan sekolahnya pada kala itu. Selain dengan kawan-kawannya, kenangan menyakitkan juga ia alami dengan buyutnya, Mbah Notosudiro yang memperlakukan Soeharto kecil berbeda dari saudara-saudaranya yang lain. Kenangan pahit dan menyakitkan yang dialami Soeharto kecil, membuatnya bertekad keras untuk menjadi orang yang kaya dan berkedudukan tinggi di masa depan

    Ketika semakin besar, Soeharto tinggal bersama kakeknya, Mbah Atmosudiro, ayah dari ibunya. Soeharto sekolah ketika berusia delapan tahun, tetapi sering berpindah. Semula disekolahkan di Sekolah Dasar (SD) di Desa Puluhan, Godean. Lalu, pindah ke SD Pedes (Yogyakarta) lantaran ibu dan ayah tirinya, Pramono, pindah rumah ke Kemusuk Kidul. Kertosudiro kemudian memindahkan Soeharto ke Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah. Soeharto dititipkan di rumah bibinya yang menikah dengan seorang mantri tani bernama Prawirowihardjo. Soeharto diterima sebagai putra paling tua dan diperlakukan sama dengan putra-putri Prawirowihardjo. Soeharto kemudian disekolahkan dan menekuni semua pelajaran, terutama berhitung. Dia juga mendapat pendidikan agama yang cukup kuat dari keluarga bibinya

    Kegemaran bertani tumbuh selama Soeharto menetap di Wuryantoro. Di bawah bimbingan pamannya yang mantri tani, Soeharto menjadi paham dan menekuni pertanian. Sepulang sekolah, Soeharto belajar mengaji di langgar bersama teman-temannya, bahkan dilakukan sampai semalam suntuk. Ia juga aktif di kepanduan Hizbul Wathan dan mulai mengenal para pahlawan seperti Raden Ajeng Kartini dan Pangeran Diponegoro dari sebuah koran yang sampai ke desa.

    Setamat Sekolah Rendah (SR) empat tahun, Soeharto disekolahkan oleh orang tuanya ke sekolah lanjutan rendah di Wonogiri. Setelah berusia 14 tahun, Soeharto tinggal di rumah Hardjowijono. Hardjowijono adalah teman ayahnya yang merupakan pensiunan pegawai kereta api. Hardjowijono juga seorang pengikut setia Kiai Darjatmo, tokoh agama terkemuka di Wonogiri waktu itu.

    Karena sering diajak, Soeharto sering membantu Kiai Darjatmo membuat resep obat tradisional untuk mengobati orang sakit. Pada tahun 1935 Soeharto kembali ke kampung asalnya, Kemusuk, untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah di Yogyakarta. Hal tersebut dilakukannya karena di sekolah itu siswanya boleh mengenakan sarung dan tanpa memakai alas kaki (sepatu). Pada masa ini Soeharto yang kulino meneng (pendiam) hanya memiliki satu sahabat karib, yaitu Sulardi, adik sepupunya, saudara kandung Sudwikatmono dan teman sekelas Ibu Tien Soeharto saat bersekolah di Ongko Loro. Sulardi setia menemaninya bermain dan berpetualang seperti anak desa di waktu itu.

    Riwayat Pekerjaan

    Setamat SMP pada tahun 1938, Soeharto sebenarnya ingin melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Apa daya, ayah dan keluarganya yang lain tidak mampu membiayai karena kondisi ekonomi. Soeharto pun berusaha mencari pekerjaan kesana kemari, tetapi gagal. Ia kembali ke rumah bibinya di Wuryantoro. Ia pun mendapatkan pekerjaan sebagai pembantu klerek/ clerk (pegawai) pada sebuah Bank Desa (Volksbank), Soeharto pun bekerja dengan mengikuti sang klerek berkeliling kampung menggunakan sepeda dan pakaian Jawa lengkap, kain blangkon serta baju beskap. Karirnya sebagai pembantu klerek pun tamat dalam waktu singkat ketika kainnya sobek usai turun dari sepeda yang sudah reot. Kain itu tersangkut pada sadel yang menonjol keluar. Padahal itu adalah satu-satunya kain yang bisa dipakainya untuk bekerja. Saat itu dia dicela klerek dan dimarahi sang bibi, Ibu Prawirowihardjo. Sejak itu, Soeharto yang kelak memimpin Indonesia menjadi pengangguran lagi.

    Hari-harinya diisi dengan kegiatan gotong-royong, membantu keluarga dan sesekali bekerja serabutan. Ia terus mencoba untuk melamar berbagai pekerjaan, seperti melamar menjadi pegawai kereta api hingga melamar sebagai pegawai bank milik Belanda di Semarang, namun hasilnya selalu gagal. Pada masa inilah Soeharto terus mengasah kemampuan spiritualnya dengan cara menjalani tirakat, seperti berpuasa sebagai wujud laku prihatin.

    Setelah bertahun-tahun mencari pekerjaan, Soeharto di ajak seorang temannya dari Wonogiri untuk mendaftar pada Angkatan Laut Kerajaan Belanda dengan posisi sebagai juru masak kapal, ia tidak terlalu tertarik pada posisi tersebut, terlebih pada saat yang bersamaan, yaitu awal tahun 1940 ia mendengar kabar akan di buka lowongan pendidikan Corps Opleiding Reserve Officieren (CORO) Koninklijk Nederlands Indische Leger (KNIL) atau Korps Pendidikan Perwira Cadangan di Bandung. Ia mencoba mendaftar, tetapi gagal. Cita-citanya menjadi perwira kandas pada saat itu, Soeharto pun kembali menganggur.

    Soeharto tak putus asa, suatu hari pada pertengahan tahun 1940 ia membaca pengumuman penerimaan Bintara KNIL di Gombong, Jawa Tengah. Ia mendaftarkan diri dan diterima, ia resmi menjadi tentara pada usia 21 tahun (1942). Waktu itu, ia hanya sempat bertugas tujuh hari dengan pangkat sersan karena Belanda menyerah kepada Jepang. Sersan Soeharto kemudian pulang ke Dusun Kemusuk. Justru di sinilah, karier militernya dimulai.

    Karier militer

    Pada 1 Juni 1940, ia diterima sebagai siswa di sekolah militer di Gombong, Jawa Tengah. Setelah enam bulan menjalani latihan dasar, ia tamat sebagai lulusan terbaik dan menerima pangkat kopral. Ia terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong. Soeharto resmi bergabung dengan pasukan kolonial Belanda, KNIL saat Perang Dunia II sedang berkecamuk. Ia dikirim ke Bandung untuk menjadi tentara cadangan di Markas Besar Angkatan Darat selama seminggu dengan pangkat sersan.

    Nasib Soeharto kembali apes, tanggal 8 Maret 1942, Belanda menyerah pada Jepang. Berakhir pulalah kiprahnya di KNIL. Soeharto pun kembali menumpang di rumah bibinya di Wuryantoro, ia kembali menganggur. Pada rentang waktu ini, Soeharto terserang penyakit malaria yang menyebabkan dirinya harus dirawat lama di rumah sakit. Setelah pulih, karena tak memiliki uang dan tidak enak hanya sekedar menumpang, Soeharto meminta bantuan sang paman, Prawirowihardjo yang berprofesi sebagai penyuluh (mantri) tani untuk mencarikannya pekerjaan. Namun, sang paman hanya dapat memberikannya pekerjaan sekedar untuk mendampingi dan mempersiapkan keperluan pekerjaan pamannya sebagai penyuluh pertanian. Soeharto menerima dan menjadikannya sebagai kesempatan untuk mempelajari Ilmu Pertanian dari sang paman, meski dalam waktu yang singkat.

    Bosan menganggur, Soeharto mencoba mendaftar jadi Keibuho atau polisi Jepang pada November 1942. Ia mengaku sedikit takut jika identitasnya sebagai bekas tentara Belanda ketahuan. Tetapi akhirnya memberanikan diri mendaftar dan diterima. Dengan cerdik dan hati-hati ia berusaha keras untuk menyembunyikan identitasnya sebagai bekas tentara Belanda. Soeharto lulus pendidikan polisi sebagai salah satu lulusan terbaik. Jelas saja, ia sudah mahir karena pernah mengikuti pendidikan bintara KNIL Belanda

    Saat itulah atasan Soeharto di kepolisian memberi tahu ada pendaftaran Tentara Pembela Tanah Air (PETA), pasukan militer yang disponsori Jepang. Perwira Jepang itu menyarankan Soeharto mendaftar masuk PETA, ia kemudian menjadi perwira magang/pembantu letnan yang berdinas di Karanganyar, Kebumen. Setelah masa percobaannya selesai dan dianggap layak, ia pun mengikuti pendidikan militer lanjutan di Bogor, Jawa Barat, ia diangkat menjadi Chudancho (komandan kompi ). Di asrama Peta Bogor ia tinggal bersama-sama dengan Shodanco Singgih, Putra Panji Singgih teman seperjuangan Soekarno. Berikutnya sebagai Chudancho di Seibu, markas besar PETA di Solo, kemudian dimutasi ke Kaki Gunung Wilis di desa Brebeg Selatan Madiun untuk melatih prajurit PETA.

    Pada 17 Agustus 1945 Indonesia resmi mengumumkan kemerdekaan, kemudian secara resmi diangkat menjadi anggota TNI per 5 Oktober 1945 dengan pangkat letnan. Tidak lama kemudian, berkat reputasi dan pengalamannya di PETA, Ia kemudian ditunjuk sebagai komandan batalyon dengan pangkat mayor. Pada tahun 1946, pangkatnya kembali naik menjadi komandan resimen yang berpangkat letnan kolonel atau overste.

    Setelah Perang Kemerdekaan berakhir, ia tetap menjadi Komandan Brigade Garuda Mataram dengan pangkat letnan kolonel. Ia memimpin Brigade Garuda Mataram dalam operasi penumpasan pemberontakan Andi Azis di Sulawesi. Kemudian, ia ditunjuk sebagai Komandan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) Sektor Kota Makassar yang bertugas mengamankan kota dari gangguan eks KNIL/KL.

    Pada 1 Maret 1949, ia ikut serta dalam serangan umum yang berhasil menduduki Kota Yogyakarta selama enam jam. Inisiatif itu muncul atas saran Sri Sultan Hamengkubuwono IX kepada Panglima Besar Soedirman bahwa Brigade X pimpinan Letkol Soeharto segera melakukan serangan umum di Yogyakarta dan menduduki kota itu selama enam jam untuk membuktikan bahwa Republik Indonesia (RI) masih ada.

    Pada usia sekitar 32 tahun, tugasnya dipindahkan ke Markas Divisi dan diangkat menjadi Komandan Resimen Infanteri 15 dengan pangkat letnan kolonel (1 Maret 1953). Pada 3 Juni 1956, ia diangkat menjadi Kepala Staf Panglima Tentara dan Teritorium IV/Diponegoro di Semarang. Dari Kepala Staf, ia diangkat sebagai pejabat Panglima Tentara dan Teritorium IV/Diponegoro. Pada 1 Januari 1957, pangkatnya dinaikkan menjadi kolonel.

    Lembaran hitam juga sempat mewarnai perjalanan militernya. Ia pernah dipecat oleh Jenderal Nasution sebagai Pangdam Diponegoro. Peristiwa pemecatan terjadi pada 17 Oktober 1959 tersebut akibat ulahnya yang diketahui menggunakan institusi militernya untuk meminta uang dari perusahaan-perusahan di Jawa Tengah. Kasusnya hampir dibawa ke pengadilan militer oleh Kolonel Ahmad Yani. Atas saran Jenderal Gatot Soebroto saat itu, dia dibebaskan dan dipindahkan ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung, Jawa Barat. Pada usia 38 tahun, ia mengikuti kursus C SSKAD (Sekolah Staf dan Komando AD) di Bandung. Sebenarnya, secara kepangkatan Soeharto sudah terlambat untuk mengikuti kursus tersebut, pada saat itu Kursus SSKAD biasanya diikuti oleh perwira yang berpangkat Letnan Kolonel (Letkol) yang akan naik pangkat menjadi Kolonel.

    Pangkat Soeharto dinaikkan menjadi brigadir jenderal pada 1 Januari 1960. Ia berhasil meraih bintang di pundaknya, meski sebelum lulus kursus di SSKAD hanya pernah mengenyam pendidikan militer setingkat bintara. Banyak para Jenderal kala itu meragukan kualitas intelektualnya untuk menjadi Jenderal. Namun, Soeharto juga dikenal sebagai seorang perwira lapangan yang handal selama masa perjuangan dengan kekuatannya, yaitu pengalaman, kecerdikan, intuisi, kepemimpinan, kecerdasan emosi hingga kejelian/keberuntungannya dalam membaca setiap kesempatan, meskipun Ia tidak pernah mengenyam pendidikan formal/informal yang memadai atau kursus militer di luar negeri. Akhirnya, atas peran Letnan Jenderal Gatot Soebroto Ia diangkat sebagai Deputi I Kepala Staf Angkatan Darat.

    Pada 1 Oktober 1961, jabatan rangkap sebagai Panglima Korps Tentara I Caduad (Cadangan Umum AD) yang telah diembannya ketika berusia 40 tahun bertambah dengan jabatan barunya sebagai Panglima Kohanud (Komando Pertahanan AD). Pada tahun 1961 tersebut, ia juga mendapatkan tugas sebagai Atase Militer Republik Indonesia di Beograd (Yugoslavia), Paris (Perancis), dan Bonn (Jerman Barat). Di usia 41 tahun, pangkatnya dinaikkan menjadi mayor jenderal (1 Januari 1962) dan menjadi Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dan merangkap sebagai Deputi Wilayah Indonesia Timur di Makassar. Sepulang dari kawasan Indonesia Timur, Soeharto yang telah naik pangkat menjadi mayor jenderal, ditarik ke markas besar ABRI oleh Jenderal Abdul Haris Nasution.

    Di pertengahan tahun 1962, Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) hingga 1965. Sekitar setahun kemudian, tepatnya, 2 Januari 1962, Brigadir Jenderal Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat. Kemudian ia diangkat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) pada 1 Mei 1963. Mayor Jenderal Soeharto lalu dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat dan segera membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya. Ia membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) untuk mengimbangi G-30-S yang berkecamuk pada 1 Oktober 1965. Dua hari kemudian, tepatnya 3 Oktober 1965, Mayjen Soeharto diangkat sebagai Panglima Kopkamtib. Jabatan ini memberikan wewenang besar untuk melakukan pembersihan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai pelaku G-30-S/PKI.

    Riwayat pekerjaan

    • Pembantu Klerek Bank Desa (Volk-Bank) di Kemusuk, Yogyakarta (1938)
    • Siswa Sekolah Bintara KNIL di Gombong (1940—1942)
    • Tentara Cadangan Markas Besar Angkatan Darat KNIL (1942)
    • Pembantu/asisten Mantri Tani di Wuryantoro, Wonogiri (1942)
    • Siswa Keibuho (Polisi Jepang) Jepang (1942)
    • Komandan Regu dan Pembantu Perwira PETA di Karanganyar, Kebumen (1942—1943)
    • Siswa Pendidikan Militer Lanjutan PETA di Bogor (1943—1944)
    • Komandan Peleton (Shodanco) PETA di Glagah, Wates (1944)
    • Komandan Kompi (Cudanco) di Markas Besar PETA di Surakarta (1944)
    • Komandan Kompi (Cudanco) Perwira pendidik PETA di Desa Brebeg, Jawa Timur (1944—1945)
    • Letnan di Brigade Mataram, Yogyakarta (1945)
    • Komandan Batalyon infanteri di Kebumen dengan pangkat Kapten – Mayor (1945—1946)
    • Komandan Batalyon X di bawah Divisi IX di Yogyakarta dengan pangkat Mayor (1946—1948)
    • Komandan Brigade Mataram – Wehrkreise III di Yogyakarta dengan pangkat Letnan Kolonel (1948—1950)
    • Komandan Komando Resimen Salatiga dengan pangkat Letnan Kolonel (1950—1953)
    • Komandan Resimen Infanteri 15 di Solo dengan pangkat Letnan Kolonel (1953—1956)
    • Kepala Staf Teritorium IV/Diponegoro di Semarang dengan pangkat Letnan Kolonel (1956—1957)
    • Panglima Teritorium IV/Diponegoro di Semarang dengan pangkat Kolonel (1957—1959)
    • Siswa Sekolah Staf Komando Angkatan Darat/SSKAD (1959—1960)
    • Deputi I Kepala Staf Angkatan Darat dengan pangkat Brigadir Jenderal (1960—1961)
    • Panglima Korps Tentara Cadangan Umum Angkatan Darat/CADUAD dengan pangkat Brigadir Jenderal (1961)
    • Atase Militer/Hankam di Beograd, Yugoslavia (1961)
    • Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dengan pangkat Mayor Jenderal (1962)
    • Panglima Komando Strategis Angkatan Darat dengan pangkat Mayor Jenderal (1962—1965)
    • Menteri/Panglima Angkatan Darat dengan pangkat Mayor Jenderal – Letnan Jenderal (1965—1968)
    • Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban/Kopkamtib (1965—1969)
    • Ketua Presidium Kabinet Ampera I (1966—1967)
    • Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ABRI merangkap Menteri Pertahanan dengan pangkat Jenderal (1968—1973)
    • Pejabat Presiden Republik Indonesia (1967—1968)
    • Presiden Republik Indonesia (1968—1998)
    • Sekretaris Jenderal Gerakan Non Blok (1992—1995)

      Tempat bermain slot yang asik : Mahkota69

  • profil presiden pertama indonesia Soekarno

    profil presiden pertama indonesia Soekarno

    Ir. Soekarno (Ejaan Republik: Sukarno; 6 Juni 1901 – 21 Juni 1970),biasa dipanggil dengan sebutan Bung Karno adalah seorang negarawan, orator, dan Presiden Indonesia pertama yang menjabat sejak tahun 1945 hingga tahun 1967. Ia menjabat sebagai presiden setelah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia bersama wakilnya, Mohammad Hatta. Selain dikenal sebagai Bapak Proklamator, Soekarno dikenal juga sebagai pencetus Pancasila, dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia

    Soekarno adalah pemimpin perjuangan Indonesia untuk meraih kemerdekaan dari penjajah Belanda. Ia adalah pemimpin terkemuka gerakan nasionalis Indonesia selama masa kolonial dan menghabiskan lebih dari satu dekade di tahanan Belanda hingga dibebaskan oleh penjajah Jepang dalam Perang Dunia II. Soekarno dan rekan-rekan nasionalismenya berkolaborasi dengan Jepang untuk mendapatkan dukungan bagi upaya perang Jepang dari penduduk, sebagai imbalan atas bantuan Jepang dalam menyebarkan ide-ide nasionalis. Setelah Jepang menyerah, Soekarno dan Mohammad Hatta mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, dan Soekarno diangkat menjadi presiden. Ia memimpin perlawanan Indonesia terhadap upaya penjajahan kembali Belanda melalui cara diplomatik dan militer hingga pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949. Oleh karena itu, ia diberi gelar “Bapak Proklamasi.

    Setelah Era Demokrasi Liberal Indonesia yang kacau, demokrasi parlementer, Soekarno mendirikan sistem otokrasi yang disebut “Demokrasi Terpimpin” pada tahun 1959 yang berhasil mengakhiri ketidakstabilan dan pemberontakan yang mengancam kelangsungan hidup negara yang beragam dan terpecah belah tersebut. Pada awal tahun 1960-an Soekarno memulai serangkaian kebijakan luar negeri yang agresif dengan tajuk anti-imperialisme dan secara pribadi memperjuangkan Gerakan Non-Blok. Perkembangan ini menyebabkan meningkatnya ketegangan dengan Barat dan hubungan yang lebih dekat dengan Uni Soviet. Setelah peristiwa seputar Gerakan 30 September tahun 1965, jenderal militer Soeharto mengambil alih kendali negara dalam penggulingan pemerintah yang dipimpin Soekarno oleh militer yang didukung Barat. Hal ini diikuti oleh penindasan terhadap kaum kiri yang nyata dan yang dianggap beraliran kiri, termasuk eksekusi terhadap anggota partai Komunis dan orang-orang yang diduga bersimpati pada beberapa pembantaian dengan dukungan dari CIA dan SIS,mengakibatkan sekitar 500.000 hingga lebih dari 1.000.000 kematian.Pada tahun 1967, Soeharto resmi memangku jabatan presiden, menggantikan Soekarno, yang tetap berada dalam tahanan rumah hingga meninggal pada tahun 1970.

    Putri sulungnya Megawati Soekarnoputri, yang lahir pada masa pemerintahan ayahnya pada tahun 1947, kemudian menjabat sebagai presiden kelima Indonesia dari tahun 2001 hingga 2004.

    Nama

    Soekarno lahir di Peneleh, Surabaya, Jawa Timur dengan nama Kusno (Koesno) yang diberikan oleh orangtuanya. Akan tetapi, karena ia sering sakit maka ketika berumur sebelas tahun namanya diubah menjadi Soekarno oleh ayahnya.Nama tersebut diambil dari seorang panglima perang dalam kisah Bharata Yudha yaitu Karena. Nama “Karna” menjadi “Karno” karena dalam bahasa Jawa huruf “a” berubah menjadi “o” sedangkan awalan “su” memiliki arti “baik”.

    Di kemudian hari ketika menjadi presiden, ejaan nama Soekarno diganti olehnya sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah (Belanda). Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena tanda tangan tersebut adalah tanda tangan yang tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah, selain itu tidak mudah untuk mengubah tanda tangan setelah berumur 50 tahun. Sebutan akrab untuk Soekarno adalah Bung Karno.

    Achmed Soekarno

    Di beberapa negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang ditulis Achmed Soekarno. Hal ini terjadi karena ketika Soekarno pertama kali berkunjung ke Amerika Serikat, sejumlah wartawan bertanya-tanya, “Siapa nama kecil Soekarno?”karena mereka tidak mengerti kebiasaan sebagian penamaan di Indonesia, terutama nama Jawa, yang hanya menggunakan satu nama saja atau tidak memiliki nama keluarga.

    Soekarno menyebutkan bahwa nama Achmed didapatnya ketika menunaikan ibadah haji.Dalam beberapa versi lain, disebutkan pemberian nama Achmed di depan nama Soekarno, dilakukan oleh para diplomat muslim asal Indonesia yang sedang melakukan misi luar negeri dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan negara Indonesia oleh negara-negara Arab.

    Dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia dijelaskan bahwa namanya hanya “Soekarno” saja, karena dalam masyarakat Indonesia bukan hal yang tidak biasa memiliki nama yang terdiri satu kata.

    Kehidupan

    Masa kecil dan remaja

    Soekarno dilahirkan di Surabaya, tanggal 6 Juni 1901, dengan seorang ayah yang bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo (1873–1945) dan ibunya yaitu Ida Ayu Nyoman Rai (1881–1958). Keduanya bertemu ketika Raden Soekemi yang merupakan seorang guru ditempatkan di Sekolah Dasar Pribumi di Singaraja, Bali. Nyoman Rai merupakan keturunan bangsawan dari Bali dan beragama Hindu, sedangkan Raden Soekemi sendiri beragama Islam. Mereka telah memiliki seorang putri yang bernama Sukarmini sebelum Soekarno lahir. Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya, Raden Hardjokromo di Tulungagung, Jawa Timur.

    Ia bersekolah pertama kali di Tulungagung hingga akhirnya ia pindah ke Mojokerto, mengikuti orang tuanya yang ditugaskan di kota tersebut. Di Mojokerto, ayahnya memasukkan Soekarno ke Eerste Inlandse School, sekolah tempat ia bekerja. Kemudian pada Juni 1911 Soekarno dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS) untuk memudahkannya diterima di Hogere Burger School (HBS). Pada tahun 1915, Soekarno telah menyelesaikan pendidikannya di ELS dan berhasil melanjutkan ke HBS di Surabaya, Jawa Timur. Ia dapat diterima di HBS atas bantuan seorang kawan bapaknya yang bernama H.O.S. Tjokroaminoto.Tjokroaminoto bahkan memberi tempat tinggal bagi Soekarno di pondokan kediamannya.Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu, seperti Alimin, Musso, Darsono, Haji Agus Salim, dan Abdul Muis. Soekarno kemudian aktif dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Dharmo yang dibentuk sebagai organisasi dari Budi Utomo.Nama organisasi tersebut kemudian ia ganti menjadi Jong Java (Pemuda Jawa) pada 1918.Selain itu, Soekarno juga aktif menulis di harian “Oetoesan Hindia” yang dipimpin oleh Tjokroaminoto

    Tamat HBS Soerabaja bulan Juli 1921, bersama Djoko Asmo rekan satu angkatan di HBS, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) di Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil pada tahun 1921, setelah dua bulan dia meninggalkan kuliah, tetapi pada tahun 1922 mendaftar kembali dan tamat pada tahun 1926. Soekarno dinyatakan lulus ujian insinyur pada tanggal 25 Mei 1926 dan pada Dies Natalis ke-6 TH Bandung tanggal 3 Juli 1926 dia diwisuda bersama delapan belas insinyur lainnya. Prof. Jacob Clay selaku ketua fakultas pada saat itu menyatakan “Terutama penting peristiwa itu bagi kita karena ada di antaranya 3 orang insinyur orang Jawa”. Mereka adalah Soekarno, Anwari, dan Soetedjo, selain itu ada seorang lagi dari Minahasa yaitu Johannes Alexander Henricus Ondang.

    Saat di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan anggota Sarekat Islam dan sahabat karib Tjokroaminoto. Di sana ia berinteraksi dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo, dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij

    Silsilah keluarga

    Perjuangan awal kemerdekaan

    Soekarno pertama kali mengenal ide-ide nasionalis saat hidup di bawah pemerintahan Oemar Said Tjokroaminoto. Kemudian, ketika menjadi mahasiswa di Bandung, ia membenamkan dirinya dalam filsafat politik Eropa, Amerika, nasionalis, komunis, dan agama, yang pada akhirnya mengembangkan karyanya memiliki ideologi politik swasembada ala sosialis Indonesia. Ia mulai menata ide-idenya sebagai Marhaenisme, yang diambil dari nama Marhaen, seorang petani Indonesia yang ia temui di wilayah selatan Bandung, yang memiliki sebidang tanah kecil dan menggarapnya sendiri, sehingga menghasilkan pendapatan yang cukup untuk menghidupi keluarganya. Di universitas, Soekarno mulai mengorganisir klub belajar untuk mahasiswa Indonesia, Algemeene Studie Club, yang bertentangan dengan klub mahasiswa yang didominasi oleh mahasiswa Belanda.

    Keterlibatan dalam Partai Nasional Indonesia

    Pada tanggal 4 Juli 1927, Soekarno bersama teman-temannya dari Algemeene Studie Club mendirikan partai pro-kemerdekaan, Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Soekarno terpilih sebagai pemimpin pertama. Partai ini menganjurkan kemerdekaan bagi Indonesia, dan menentang imperialisme dan kapitalisme karena berpendapat bahwa kedua sistem tersebut memperberat kehidupan rakyat Indonesia. Partai ini juga menganjurkan sekularisme dan persatuan di antara berbagai etnis di Hindia Belanda, untuk membentuk Indonesia yang bersatu. Soekarno juga berharap bahwa Jepang akan memulai perang melawan kekuatan barat dan Jawa kemudian dapat memperoleh kemerdekaannya dengan bantuan Jepang. PNI mulai menarik sejumlah besar pengikut, khususnya di kalangan pemuda lulusan universitas yang menginginkan kebebasan dan kesempatan yang lebih luas yang tidak diberikan kepada mereka dalam sistem politik kolonialisme Belanda yang rasis dan konstriktif. Hal ini terjadi segera setelah disintegrasi Sarekat Islam pada awal tahun 1920-an dan hancurnya Partai Komunis Indonesia setelah pemberontakan yang gagal pada tahun 1926

    Penangkapan, persidangan, dan pemenjaraan

    Penangkapan dan persidangan

    Kegiatan PNI menarik perhatian pemerintah kolonial, dan pidato serta pertemuan Soekarno sering kali disusupi dan diganggu oleh agen polisi rahasia kolonial (Politieke Inlichtingen Dienst). Akhirnya, Soekarno dan para pemimpin penting PNI lainnya ditangkap pada tanggal 29 Desember 1929 oleh otoritas kolonial Belanda dalam serangkaian penggerebekan di seluruh Jawa. Soekarno sendiri ditangkap saat sedang berkunjung ke Yogyakarta. Selama persidangannya di gedung pengadilan Landraad Bandung dari bulan Agustus hingga Desember 1930, Soekarno menyampaikan serangkaian pidato politik panjang yang menyerang kolonialisme dan imperialisme, bertajuk Indonesia Menggugat (Indonesia Accuses)

    Hukuman dan penjara

    Pada bulan Desember 1930, Soekarno dijatuhi hukuman empat tahun penjara, yang dijalani di penjara Sukamiskin di Bandung. Namun pidatonya mendapat liputan luas dari media, dan karena tekanan kuat dari unsur-unsur liberal di Belanda dan Hindia Belanda, Soekarno dibebaskan lebih awal pada tanggal 31 Desember 1931. Dengan ini Saat itu, ia telah menjadi pahlawan populer yang dikenal luas di seluruh Indonesia.

    Namun, selama ia dipenjara, PNI terpecah belah akibat penindasan pemerintah kolonial dan pertikaian internal. PNI yang asli dibubarkan oleh Belanda, dan mantan anggotanya membentuk dua partai berbeda; Partai Indonesia (Partindo) di bawah rekan Soekarno, Sartono yang mempromosikan agitasi massa, dan Pendidikan Nasionalis Indonesia (PNI Baru) dibawah Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir, dua orang nasionalis yang baru saja kembali dari studi di Belanda, dan mempromosikan strategi jangka panjang dalam menyediakan pendidikan modern kepada masyarakat Indonesia yang tidak berpendidikan untuk mengembangkan elit intelektual yang mampu memberikan perlawanan efektif terhadap pemerintahan Belanda. Setelah berusaha mendamaikan kedua partai untuk membentuk satu front persatuan nasionalis, Soekarno memilih menjadi ketua Partindo pada tanggal 28 Juli 1932. Partindo tetap mempertahankan keselarasan dengan strategi agitasi massa langsung yang dilakukan Soekarno, dan Soekarno tidak setuju dengan Perjuangan jangka panjang berbasis kader Hatta. Hatta sendiri meyakini kemerdekaan Indonesia tidak akan terjadi semasa hidupnya, sedangkan Soekarno meyakini strategi Hatta mengabaikan fakta bahwa politik hanya dapat melakukan perubahan nyata melalui pembentukan dan pemanfaatan kekuatan (machtsvorming en machtsaanwending).

    Selama periode ini, untuk menghidupi dirinya dan partai secara finansial, Soekarno kembali ke dunia arsitektur, membuka biro Soekarno & Roosseno bersama junior universitasnya, Roosseno. Dia juga menulis artikel untuk surat kabar partai, Fikiran Ra’jat (Pikiran Rakyat). Saat bermarkas di Bandung, Soekarno sering bepergian ke seluruh Jawa untuk menjalin kontak dengan kaum nasionalis lainnya. Aktivitasnya semakin menarik perhatian PID Belanda. Pada pertengahan tahun 1933, Soekarno menerbitkan serangkaian tulisan berjudul Mentjapai Indonesia Merdeka (“Mencapai Indonesia Merdeka”). Karena tulisan ini, ia ditangkap oleh polisi Belanda saat mengunjungi rekan nasionalismenya, Mohammad Hoesni Thamrin di Jakarta pada tanggal 1 Agustus 1933.

    Diasingkan

    Kali ini, untuk mencegah pemberian platform kepada Soekarno untuk menyampaikan pidato politik, gubernur jenderal garis keras Jonkheer, Bonifacius Cornelis de Jonge menggunakan kekuatan daruratnya untuk mengirim Soekarno ke pengasingan internal tanpa pengadilan. Pada tahun 1934, Soekarno dikapalkan bersama keluarganya (termasuk Inggit Garnasih), ke kota terpencil Ende, di pulau Flores. Selama berada di Flores, ia memanfaatkan kebebasan bergeraknya yang terbatas untuk mendirikan teater anak-anak. Di antara anggotanya adalah politisi masa depan Frans Seda. Karena wabah malaria di Flores, pemerintah Belanda memutuskan untuk memindahkan Soekarno dan keluarganya ke Bencoolen (sekarang Bengkulu) di pantai barat Sumatera, pada bulan Februari 1938.

    Di Bengkulu, Soekarno berkenalan dengan Hassan Din, ketua organisasi Muhammadiyah setempat, dan dia diizinkan untuk mengajar agama di sekolah lokal milik Muhammadiyah. Salah satu muridnya adalah Fatmawati yang berusia 15 tahun, putri Hassan Din. Ia menjalin hubungan asmara dengan Fatmawati, yang ia beralasan dengan menyatakan ketidakmampuan Inggit Garnasih menghasilkan anak selama hampir 20 tahun pernikahan mereka. Soekarno masih berada di pengasingan Bengkulu ketika Jepang menyerbu kepulauan pada tahun 1942.

    Perang Dunia II dan pendudukan Jepang

    Pendudukan Jepang

    Latar belakang dan invasi

    Pada awal tahun 1929, selama Kebangkitan Nasional Indonesia, Soekarno dan rekan pemimpin nasionalis Indonesia Mohammad Hatta (kemudian Wakil Presiden), pertama kali meramalkan Perang Pasifik dan Perang Pasifik. peluang yang mungkin diberikan oleh kemajuan Jepang di Indonesia demi tujuan kemerdekaan Indonesia.Pada bulan Februari 1942, Kekaisaran Jepang menginvasi Hindia Belanda dengan cepat mengalahkan pasukan Belanda yang berbaris, mengangkut bus dan truk Soekarno dan rombongannya tiga ratus kilometer dari Bengkulu ke Padang, Sumatera. Mereka bermaksud menahannya dan mengirimnya ke Australia namun tiba-tiba meninggalkannya untuk menyelamatkan diri ketika pasukan Jepang mendarat di Padang.

    Kerjasama dengan Jepang

    Jepang mempunyai arsip mereka sendiri mengenai Soekarno, dan komandan Jepang di Sumatera mendekatinya dengan hormat, ingin memanfaatkannya untuk mengorganisir dan menenangkan rakyat Indonesia. Soekarno, sebaliknya, ingin memanfaatkan Jepang untuk memperoleh kemerdekaan bagi Indonesia: “Terpujilah Tuhan, Tuhan menunjukkan kepadaku jalannya; di lembah Ngarai itu aku berkata: Ya, Indonesia Merdeka hanya bisa dicapai dengan Dai Nippon … Untuk pertama kalinya sepanjang hidupku, aku melihat diriku di cermin Asia.”Pada bulan Juli 1942, Soekarno dikirim kembali ke Jakarta, di mana ia bersatu kembali dengan para pemimpin nasionalis lainnya yang baru-baru ini dibebaskan oleh Jepang, termasuk Mohammad Hatta. Di sana, ia bertemu dengan Panglima Jepang Jenderal Hitoshi Imamura, yang meminta Soekarno dan kaum nasionalis lainnya untuk menggalang dukungan dari masyarakat Indonesia untuk membantu upaya perang Jepang.

    Soekarno bersedia mendukung Jepang, dengan imbalan platform bagi dirinya untuk menyebarkan ide-ide nasionalis kepada masyarakat luas.Sebaliknya Jepang membutuhkan tenaga kerja dan sumber daya alam Indonesia untuk membantu upaya perangnya. Jepang merekrut jutaan orang, terutama dari Jawa, untuk melakukan kerja paksa romusha. Mereka terpaksa membangun rel kereta api, lapangan terbang, dan fasilitas lainnya untuk Jepang di Indonesia hingga Burma. Selain itu, Jepang meminta beras dan makanan lain yang diproduksi oleh petani Indonesia untuk memasok pasukan mereka, sekaligus memaksa petani untuk menanam tanaman minyak jarak untuk digunakan sebagai bahan bakar dan pelumas penerbangan.

    Untuk mendapatkan kerja sama dari penduduk Indonesia dan untuk mencegah perlawanan terhadap tindakan tersebut, Jepang menempatkan Soekarno sebagai ketua [gerakan organisasi massa 3A Jepang (Tiga-A). Pada bulan Maret 1943, Jepang membentuk organisasi baru bernama Poesat Tenaga Rakyat (POETERA) di bawah Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan KH Mas Mansjoer. Organisasi-organisasi ini bertujuan untuk menggalang dukungan rakyat terhadap perekrutan romusha, permintaan produk makanan, dan untuk mempromosikan sentimen pro-Jepang dan anti-Barat di kalangan masyarakat Indonesia. Soekarno yang menciptakan istilah Amerika kita setrika, Inggris kita linggis untuk mempromosikan sentimen anti-Sekutu. Pada tahun-tahun berikutnya, Soekarno merasa malu atas perannya dalam pemerintahan romusha. Selain itu, permintaan makanan oleh Jepang menyebabkan kelaparan yang meluas di Jawa, yang menewaskan lebih dari satu juta orang pada tahun 1944–1945. Menurutnya, hal ini merupakan pengorbanan yang perlu dilakukan demi kemerdekaan Indonesia di masa depan. Ia juga terlibat dalam pembentukan Pembela Tanah Air (PETA) dan Heiho (Pasukan Tentara Relawan Indonesia) melalui pidato-pidato yang disiarkan di radio Jepang dan jaringan pengeras suara di seluruh Pulau Jawa dan Sumatera. Pada pertengahan tahun 1945, unit-unit ini berjumlah sekitar dua juta dan bersiap untuk mengalahkan Pasukan Sekutu yang dikirim untuk merebut kembali Jawa.

    Sementara itu, Soekarno akhirnya menceraikan Inggit yang menolak keinginan suaminya untuk berpoligami. Dia diberi rumah di Bandung dan uang pensiun seumur hidupnya. Pada tahun 1943, ia menikah dengan Fatmawati. Mereka tinggal di sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, yang disita dari pemilik Belanda sebelumnya dan diberikan kepada Soekarno oleh Jepang. Rumah ini nantinya menjadi tempat berlangsungnya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.

    Pada tanggal 10 November 1943, Soekarno dan Hatta dikirim dalam tur 17 hari di Jepang, di mana mereka diberi penghargaan oleh Kaisar Hirohito dan minum anggur serta makan malam di rumah Perdana Menteri Hideki Tojo di Tokyo. Pada tanggal 7 September 1944, ketika perang tidak menguntungkan Jepang, Perdana Menteri Kuniaki Koiso menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia, meskipun tanggalnya belum ditentukan. Pengumuman ini, menurut sejarah resmi AS, dipandang sebagai pembenaran besar atas kolaborasi Soekarno dengan Jepang.AS pada saat itu menganggap Soekarno sebagai salah satu “pemimpin kolaborator terkemuka

    Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan

    Pada tanggal 29 April 1945, ketika Filipina dibebaskan oleh pasukan Amerika, Jepang mengizinkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), sebuah kuasi legislatif yang terdiri dari 67 perwakilan dari sebagian besar kelompok etnis di Indonesia. Soekarno diangkat sebagai ketua BPUPKI dan ditugaskan memimpin pembahasan untuk mempersiapkan dasar negara Indonesia masa depan. Untuk memberikan platform yang umum dan dapat diterima untuk menyatukan berbagai faksi yang berselisih di BPUPKI, Soekarno merumuskan pemikiran ideologisnya yang dikembangkan selama dua puluh tahun sebelumnya ke dalam lima prinsip. Pada tanggal 1 Juni 1945, ia memperkenalkan seperangkat lima prinsip, yang dikenal sebagai Pancasila, dalam sidang gabungan BPUPKI yang diadakan di bekas Gedung Volksraad (sekarang disebut Gedung Pancasila).

    Pancasila, seperti yang disampaikan Soekarno dalam pidato BPUPKI, terdiri dari lima prinsip yang menurut Soekarno umum dianut oleh seluruh rakyat Indonesia:

    1. Nasionalisme, di mana negara kesatuan Indonesia akan terbentang dari Sabang sampai Merauke, meliputi seluruh bekas Hindia Belanda.
    2. Internasionalisme, artinya Indonesia harus menghargai hak asasi manusia dan berkontribusi terhadap perdamaian dunia, serta tidak boleh terjerumus ke dalam fasisme chauvinistik seperti yang dilakukan oleh Jerman Nazi yang meyakini superioritas ras Arya
    3. Demokrasi, yang diyakini Soekarno selalu ada dalam darah bangsa Indonesia melalui praktik musyawarah untuk mufakat, sebuah demokrasi ala Indonesia yang berbeda dengan liberalisme ala Barat.
    4. Keadilan sosial, suatu bentuk sosialisme populis di bidang ekonomi dengan oposisi gaya Marxis terhadap kapitalisme bebas. Keadilan sosial juga dimaksudkan untuk memberikan pemerataan perekonomian bagi seluruh rakyat Indonesia, dibandingkan dengan dominasi ekonomi penuh oleh Belanda dan Tiongkok pada masa kolonial.
    5. Ketuhanan, dimana semua agama diperlakukan sama dan mempunyai kebebasan beragama. Soekarno memandang masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang spiritual dan religius, namun pada hakikatnya toleran terhadap perbedaan keyakinan agama.

    ada tanggal 22 Juni, unsur-unsur Islam dan nasionalis dari BPUPKI membentuk sebuah panitia kecil beranggotakan sembilan orang (Panitia Sembilan), yang merumuskan Gagasan Soekarno ke dalam lima butir Pancasila, dalam sebuah dokumen yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta:

    1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam Bagi para pemeluknya
    2. Kemanusiaan yang adil dan beradab’
    3. Persatuan Indonesia
    4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam musyawarah perwakilan
    5. Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia

    Karena adanya tekanan dari unsur Islam, maka sila pertama menyebutkan kewajiban umat Islam untuk mengamalkan syariat Islam (syariah). Namun Sila final sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 yang mulai berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945, tidak mengacu pada hukum Islam demi persatuan bangsa. Penghapusan syariah dilakukan oleh Mohammad Hatta berdasarkan permintaan perwakilan Kristen Alexander Andries Maramis, dan setelah berkonsultasi dengan perwakilan Islam moderat Teuku Mohammad Hassan, Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo

    Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia

    Pada tanggal 7 Agustus 1945, Jepang mengizinkan pembentukan badan yang lebih kecil, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), sebuah komite beranggotakan 21 orang yang bertugas menciptakan struktur pemerintahan khusus untuk negara Indonesia masa depan. Pada tanggal 9 Agustus, pimpinan tertinggi PPKI (Soekarno, Hatta, dan KRT Radjiman Wedyodiningrat), dipanggil oleh Panglima Pasukan Ekspedisi Selatan Jepang, Marsekal Lapangan Hisaichi Terauchi, ke Dalat, 100 km dari Saigon. Marsekal Lapangan Terauchi memberikan kebebasan kepada Soekarno untuk melanjutkan persiapan kemerdekaan Indonesia, bebas dari campur tangan Jepang. Setelah minum dan makan, rombongan Soekarno diterbangkan kembali ke Jakarta pada 14 Agustus. Tanpa sepengetahuan para tamu, bom atom telah dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, dan Jepang sedang mempersiapkan penyerahan.

    Penyerahan Jepang

    Keesokan harinya, pada tanggal 15 Agustus, Jepang menyatakan penerimaan mereka terhadap persyaratan Deklarasi Potsdam dan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Sore hari itu, Soekarno menerima informasi ini dari para pemimpin kelompok pemuda dan anggota PETA Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana, yang telah mendengarkan siaran radio Barat. Mereka mendesak agar Soekarno segera mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia, saat Jepang sedang kebingungan dan sebelum kedatangan pasukan Sekutu. Menghadapi pergantian peristiwa yang cepat ini, Soekarno menunda-nunda. Dia takut akan pertumpahan darah karena tanggapan bermusuhan dari Jepang terhadap tindakan tersebut dan prihatin dengan kemungkinan pembalasan Sekutu di masa depan.

    Penculikan ke Rengasdengklok

    Pada dini hari tanggal 16 Agustus, ketiga pemimpin pemuda tersebut, karena tidak sabar dengan keragu-raguan Soekarno, menculiknya dari rumahnya dan membawanya ke sebuah rumah kecil di Rengasdengklok, Karawang, milik sebuah keluarga Tionghoa dan ditempati oleh PETA. Di sana mereka memperoleh komitmen Soekarno untuk mendeklarasikan kemerdekaan keesokan harinya. Malamnya, para pemuda mengantar Soekarno kembali ke rumah Laksamana Tadashi Maeda, perwira penghubung angkatan laut Jepang di kawasan Menteng Jakarta, yang bersimpati dengan kemerdekaan Indonesia. Di sana, ia dan asistennya Sayuti Melik menyiapkan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

    Revolusi Nasional (1945–1949)

    Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

    Dini hari tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno kembali ke rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, dimana Mohammad Hatta bergabung dengannya. Sepanjang pagi, selebaran dadakan yang dicetak oleh PETA dan golongan pemuda menginformasikan kepada masyarakat bahwa proklamasi akan segera dilakukan. Akhirnya pada pukul 10 pagi, Soekarno dan Hatta melangkah ke teras depan, tempat Soekarno mendeklarasikan kemerdekaan Republik Indonesia di hadapan 500 orang massa. Bangunan paling bersejarah ini kemudian diperintahkan untuk dibongkar oleh Soekarno sendiri, tanpa alasan yang jelas.

    Keesokan harinya, tanggal 18 Agustus, PPKI mendeklarasikan susunan dasar pemerintahan Negara Republik Indonesia yang baru:

    • Mengangkat Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai presiden dan wakil presiden beserta kabinetnya.
    • Memberlakukan UUD Indonesia Tahun 1945, yang pada saat itu tidak menyertakan referensi apapun terhadap hukum Islam.
    • Membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (Komite Nasional Indonesia Pusat/KNIP) untuk membantu presiden sebelum pemilihan parlemen.

    Visi Soekarno terhadap UUD Indonesia tahun 1945 terdiri dari Pancasila. Filsafat politik Soekarno pada dasarnya merupakan perpaduan unsur-unsur Marxisme, nasionalisme dan Islam. Hal ini tercermin dalam usulan Pancasila versinya yang diajukannya kepada BPUPKI dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945.

    Soekarno berpendapat, seluruh prinsip bangsa dapat terangkum dalam ungkapan gotong royong. Parlemen Indonesia, yang didirikan berdasarkan konstitusi asli (dan kemudian direvisi), terbukti tidak dapat diatur. Hal ini disebabkan oleh perbedaan yang tidak dapat didamaikan antara berbagai faksi sosial, politik, agama dan etnis

    Revolusi dan Masa Bersiap

    Pada hari-hari setelah proklamasi, berita kemerdekaan Indonesia disebarkan melalui radio, surat kabar, selebaran, dan dari mulut ke mulut meskipun ada upaya dari tentara Jepang untuk meredam berita tersebut. Pada tanggal 19 September, Soekarno berpidato di hadapan satu juta orang di Lapangan Ikada Jakarta (sekarang bagian dari Lapangan Merdeka) untuk memperingati satu bulan kemerdekaan, yang menunjukkan tingginya tingkat dukungan rakyat terhadap Republik baru, setidaknya di Jawa dan Sumatra. Di kedua pulau ini, pemerintahan Soekarno dengan cepat membangun kendali pemerintahan sementara sebagian besar tentara Jepang yang tersisa mundur ke barak mereka menunggu kedatangan pasukan Sekutu. Periode ini ditandai dengan serangan terus menerus oleh kelompok bersenjata pribumi terhadap orang-orang Eropa, Tionghoa, Kristen, bangsawan pribumi dan siapa saja yang mereka anggap menentang kemerdekaan Indonesia. Kasus yang paling serius adalah Revolusi Sosial di Aceh dan Sumatera Utara, di mana sejumlah besar bangsawan Aceh dan Melayu dibunuh oleh kelompok Islam (di Aceh) dan massa yang dipimpin komunis (di Sumatera Utara), dan “Perselingkuhan Tiga Wilayah” di pantai barat laut Jawa Tengah dimana sejumlah besar bangsawan Eropa, Tionghoa, dan pribumi dibantai oleh massa. Insiden berdarah ini berlanjut hingga akhir tahun 1945 hingga awal tahun 1946, dan mulai mereda ketika otoritas Partai Republik mulai mengerahkan dan mengkonsolidasi kendali.

     

    Pemerintahan Soekarno awalnya menunda pembentukan tentara nasional, karena takut akan perlawanan terhadap pasukan pendudukan Sekutu dan keraguan mereka mengenai apakah mereka mampu membentuk aparat militer yang memadai untuk mempertahankan kendali atas wilayah yang direbut. Anggota berbagai kelompok milisi yang terbentuk pada masa pendudukan Jepang seperti PETA dan Heiho yang dibubarkan, pada saat itu didorong untuk bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Baru pada bulan Oktober 1945 BKR direformasi menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sebagai respons terhadap meningkatnya kehadiran Sekutu dan Belanda di Indonesia. TKR sebagian besar mempersenjatai diri dengan menyerang pasukan Jepang dan menyita senjata mereka.

    Karena pemindahan tiba-tiba Jawa dan Sumatra dari Komando Pasifik Barat Daya pimpinan Jenderal Douglas MacArthur yang dikuasai Amerika ke Komando Asia Tenggara pimpinan Lord Louis Mountbatten yang dikuasai Inggris, tentara Sekutu pertama (Batalion 1 Seaforth Highlanders) baru tiba di Jakarta pada akhir September 1945. Pasukan Inggris mulai menduduki kota-kota besar di Indonesia pada bulan Oktober 1945. Komandan Divisi 23 Inggris, Letnan Jenderal Sir Philip Christison, mengatur komando di bekas istana gubernur jenderal di Jakarta. Christison menyatakan bahwa ia bermaksud untuk membebaskan seluruh tawanan perang Sekutu dan memungkinkan kembalinya Indonesia ke status sebelum perang, yaitu sebagai koloni Belanda. Pemerintah Republik bersedia bekerja sama dalam pembebasan dan pemulangan tawanan perang sipil dan militer Sekutu, dengan membentuk Panitia Oeroesan Pengangkoetan Djepang (POPDA) untuk tujuan ini. POPDA, bekerja sama dengan Inggris, memulangkan lebih dari 70.000 tawanan perang dan interniran Jepang dan Sekutu pada akhir tahun 1946. Namun, karena kelemahan militer Republik Indonesia, Soekarno mencapai kemerdekaan dengan mendapatkan pengakuan internasional atas negara barunya daripada terlibat dalam pertempuran dengan pasukan militer Inggris dan Belanda.

    Soekarno sadar bahwa masa lalunya sebagai kolaborator Jepang dan kepemimpinannya di Putera yang disetujui Jepang pada masa pendudukan akan membuat negara-negara Barat tidak mempercayainya. Untuk membantu mendapatkan pengakuan internasional serta untuk mengakomodasi tuntutan dalam negeri akan keterwakilan, Soekarno “mengizinkan” pembentukan sistem pemerintahan parlementer, di mana seorang perdana menteri mengendalikan urusan sehari-hari pemerintahan, sedangkan Soekarno sebagai presiden tetap menjadi tokoh boneka. Perdana menteri dan kabinetnya akan bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat dan bukan kepada presiden. Pada tanggal 14 November 1945, Soekarno mengangkat Sutan Syahrir sebagai perdana menteri pertama; dia adalah seorang politikus lulusan Eropa yang tidak pernah terlibat dengan otoritas pendudukan Jepang.

    Pada akhir tahun 1945, para administrator Belanda yang memimpin pemerintahan di pengasingan Hindia Belanda dan tentara yang pernah melawan Jepang mulai kembali dengan nama Administrasi Sipil Hindia Belanda (NICA), dengan perlindungan Inggris. Mereka dipimpin oleh Hubertus Johannes van Mook, seorang administrator kolonial yang telah mengungsi ke Brisbane, Australia. Tentara Belanda yang pernah menjadi tawanan perang di bawah pemerintahan Jepang dibebaskan dan dipersenjatai kembali. Baku tembak antara tentara Belanda dan polisi pendukung pemerintahan Republik yang baru segera terjadi. Hal ini segera meningkat menjadi konflik bersenjata antara pasukan Republik yang baru dibentuk yang dibantu oleh sejumlah massa pro-kemerdekaan dan pasukan Belanda dan Inggris. Pada tanggal 10 November, pertempuran skala penuh pecah di Surabaya antara Brigade Infanteri ke-49 dari Angkatan Darat India Britania dan milisi nasionalis Indonesia. Pasukan Inggris-India didukung oleh angkatan udara dan angkatan laut. Sekitar 300 tentara India terbunuh (termasuk komandan mereka Brigadir Aubertin Walter Sothern Mallaby), begitu pula ribuan anggota milisi nasionalis dan warga Indonesia lainnya. Baku tembak terjadi dengan frekuensi yang mengkhawatirkan di Jakarta, termasuk percobaan pembunuhan Perdana Menteri Sjahrir oleh orang-orang bersenjata Belanda. Untuk menghindari ancaman ini, Soekarno dan sebagian besar pemerintahannya berangkat ke Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946. Di sana, pemerintah Republik mendapat perlindungan dan dukungan penuh dari Sultan Yogyakarta, Hamengku Buwono IX. Yogyakarta akan tetap menjadi ibu kota Republik hingga akhir perang pada tahun 1949. Sjahrir tetap di Jakarta untuk melakukan perundingan dengan Inggris.

    Rangkaian awal pertempuran pada akhir tahun 1945 dan awal tahun 1946 membuat Inggris menguasai kota-kota pelabuhan besar di Jawa dan Sumatra. Pada masa pendudukan Jepang, pulau-pulau terluar (tidak termasuk Jawa dan Sumatra) diduduki oleh Angkatan Laut Jepang (Kaigun), yang tidak mengizinkan mobilisasi politik penduduk pulau. Akibatnya, hanya ada sedikit aktivitas Partai Republik di kepulauan ini pasca proklamasi. Pasukan Australia dan Belanda dapat dengan cepat menguasai pulau-pulau ini tanpa banyak pertempuran pada akhir tahun 1945 (tidak termasuk perlawanan I Gusti Ngurah Rai di Bali, pemberontakan di Sulawesi Selatan, dan pertempuran di wilayah Hulu Sungai Kalimantan Selatan). Sementara itu, wilayah pedalaman di Jawa dan Sumatra tetap berada di bawah kendali Partai Republik.

    Karena ingin menarik tentaranya keluar dari Indonesia, Inggris mengizinkan masuknya pasukan Belanda dalam jumlah besar ke Indonesia sepanjang tahun 1946. Pada bulan November 1946, semua tentara Inggris telah ditarik dari Indonesia. Mereka digantikan dengan lebih dari 150.000 tentara Belanda. Inggris mengirimkan Lord Archibald Clark Kerr, 1st Baron Inverchapel dan Miles Lampson, 1st Baron Killearn untuk membawa Belanda dan Indonesia ke meja perundingan. Hasil perundingan tersebut adalah Perjanjian Linggarjati yang ditandatangani pada bulan November 1946, dimana Belanda mengakui de facto kedaulatan Republik atas Jawa, Sumatera, dan Madura. Sebagai imbalannya, Partai Republik bersedia membahas masa depan Kerajaan Inggris, Belanda dan Indonesia yang mirip Persemakmuran.

    Perjanjian Linggarjati dan Agresi Militer Belanda I

    Perjanjian Linggarjati

    Keputusan Soekarno untuk berunding dengan Belanda mendapat tantangan keras dari berbagai faksi di Indonesia. Tan Malaka, seorang politisi komunis, mengorganisir kelompok-kelompok ini menjadi sebuah front persatuan yang disebut Persatoean Perdjoangan (PP). PP menawarkan “Program Minimum” yang menyerukan kemerdekaan penuh, nasionalisasi seluruh properti asing, dan penolakan semua perundingan hingga seluruh pasukan asing ditarik. Program-program ini mendapat dukungan luas dari masyarakat, termasuk dari Panglima Angkatan Bersenjata Republik, Jenderal Soedirman. Pada tanggal 4 Juli 1946, satuan militer yang terkait dengan PP menculik Perdana Menteri Sjahrir yang sedang berkunjung Yogyakarta untuk memimpin perundingan dengan Belanda. Soekarno, setelah berhasil mempengaruhi Soedirman, berhasil mengamankan pembebasan Sjahrir dan menangkap Tan Malaka serta para pemimpin PP lainnya. Ketidaksetujuan terhadap masa jabatan Linggadjati dalam KNIP menyebabkan Soekarno mengeluarkan dekrit yang menggandakan keanggotaan KNIP dengan memasukkan banyak anggota yang ditunjuk pro-perjanjian. Sebagai konsekuensinya, KNIP meratifikasi Perjanjian Linggarjati pada bulan Maret 1947

    Agresi Militer Belanda I

    Pada tanggal 21 Juli 1947, Perjanjian Linggarjati dilanggar oleh Belanda, yang melancarkan Operatie Product, sebuah invasi militer besar-besaran ke wilayah yang dikuasai Republik. Meskipun TNI yang baru dibentuk tidak mampu memberikan perlawanan militer yang signifikan, namun pelanggaran terang-terangan yang dilakukan Belanda terhadap perjanjian yang ditengahi secara internasional membuat marah opini dunia. Tekanan internasional memaksa Belanda menghentikan pasukan invasi mereka pada bulan Agustus 1947. Sjahrir, yang jabatan perdana menterinya digantikan oleh Amir Sjarifuddin, terbang ke New York City untuk mengajukan banding atas kasus Indonesia di hadapan PBB. Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang menyerukan gencatan senjata segera dan menunjuk Komisi Jasa Baik (GOC) untuk mengawasi gencatan senjata tersebut. GOC yang berkedudukan di Jakarta terdiri dari delegasi Australia (dipimpin oleh Richard Kirby, dipilih oleh Indonesia), Belgia (dipimpin oleh Paul van Zeeland, dipilih oleh Belanda), dan Amerika Serikat (dipimpin oleh Frank Porter Graham, netral).

    Republik kini berada di bawah cengkraman kuat militer Belanda, dengan militer Belanda menduduki Jawa Barat, dan pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta wilayah produktif utama Sumatra. Selain itu, angkatan laut Belanda memblokade wilayah Republik dari pasokan makanan penting, obat-obatan, dan senjata. Akibatnya, Perdana Menteri Amir Sjarifuddin tidak punya pilihan selain menandatangani Perjanjian Renville pada tanggal 17 Januari 1948, yang mengakui kendali Belanda atas wilayah yang diambil selama Agresi Militer, sementara Partai Republik berjanji untuk menarik semua kekuatan yang tersisa di sisi lain garis gencatan senjata (“Garis Van Mook”). Sementara itu, Belanda mulai mengorganisir negara boneka di wilayah-wilayah yang didudukinya, untuk melawan pengaruh Republik dengan memanfaatkan keragaman etnis di Indonesia.

    Perjanjian Renville dan Pemberontakan Madiun

    Penandatanganan Perjanjian Renville yang sangat merugikan menyebabkan ketidakstabilan yang lebih besar dalam struktur politik Partai Republik. Di Jawa Barat yang diduduki Belanda, gerilyawan Darul Islam di bawah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo mempertahankan perlawanan anti-Belanda dan mencabut kesetiaan apapun kepada Republik; mereka menyebabkan pemberontakan berdarah di Jawa Barat dan daerah lain pada dekade pertama kemerdekaan. Perdana Menteri Sjarifuddin yang menandatangani perjanjian tersebut terpaksa mengundurkan diri pada bulan Januari 1948 dan digantikan oleh Mohammad Hatta. Kebijakan kabinet Hatta yang rasionalisasi angkatan bersenjata dengan mendemobilisasi sejumlah besar kelompok bersenjata yang berkembang biak di wilayah Republik juga menimbulkan ketidakpuasan yang parah. Elemen politik sayap kiri, yang dipimpin oleh kebangkitan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) di bawah pimpinan Musso mengambil keuntungan dari ketidakpuasan masyarakat dengan melancarkan pemberontakan di Madiun, Jawa Timur, pada tanggal 18 September 1948. Pertempuran berdarah berlanjut pada akhir September hingga akhir Oktober 1948, ketika kelompok komunis terakhir dikalahkan, dan Muso ditembak mati. Kaum komunis terlalu melebih-lebihkan potensi mereka untuk menentang daya tarik kuat Soekarno di kalangan masyarakat

    Operasi Kraai dan pengasingan

    Invasi dan pengasingan

    Pada tanggal 19 Desember 1948, untuk mengambil keuntungan dari lemahnya posisi Repvblik setelah pemberontakan komunis, Belanda melancarkan Operatie Kraai, invasi militer kedua yang dirancang untuk menghancurkan Republik untuk selamanya. Invasi dimulai dengan serangan udara terhadap ibu kota Republik Yogyakarta. Soekarno memerintahkan angkatan bersenjata di bawah pimpinan Jenderal Soedirman untuk melancarkan kampanye gerilya di pedesaan, sementara ia dan para pemimpin penting lainnya seperti Hatta dan Sjahrir membiarkan diri mereka ditawan oleh Belanda. Untuk menjamin kelangsungan pemerintahan, Soekarno mengirimkan telegram kepada Syafruddin Prawiranegara, yang memberikan mandat untuk memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), berdasarkan daerah pedalaman Sumatera Barat yang belum diduduki, posisi tersebut dipegang oleh Sjafruddin sampai Soekarno dibebaskan pada bulan Juni 1949. Belanda mengirim Soekarno dan para pemimpin Republik lainnya yang ditangkap ke Parapat, di bagian Sumatera Utara yang diduduki Belanda dan kemudian ke pulau Bangka.

    Akibat

    Invasi Belanda yang kedua menyebabkan kemarahan internasional yang lebih besar lagi. Amerika Serikat, yang terkesan dengan kemampuan Indonesia mengalahkan tantangan komunis tahun 1948 tanpa bantuan dari luar, mengancam akan memotong dana Marshall Aid ke Belanda jika operasi militer di Indonesia terus berlanjut. TNI tidak terpecah belah dan terus melakukan perlawanan gerilya terhadap Belanda, terutama penyerangan ke Yogyakarta yang dikuasai Belanda yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto pada tanggal 1 Maret 1949. Akibatnya, Belanda terpaksa menandatangani Perjanjian Roem-Royen pada tanggal 7 Mei 1949. Berdasarkan perjanjian ini, Belanda melepaskan kepemimpinan Partai Republik dan mengembalikan wilayah sekitar Yogyakarta ke dalam kendali Partai Republik pada bulan Juni 1949. Hal ini disusul dengan Konferensi Meja Bundar yang diadakan di Den Haag yang berujung pada penyerahan penuh kedaulatan oleh Ratu Juliana dari Belanda ke Indonesia, pada 27 Desember 1949. Pada hari itu, Soekarno terbang dari Yogyakarta ke Jakarta, menyampaikan pidato kemenangan di tangga istana gubernur jenderal yang kemudian berganti nama menjadi Istana Merdeka.

    Presiden Republik Indonesia Serikat

    Sebagai bagian dari kompromi dengan Belanda, Indonesia mengadopsi konstitusi federal baru yang menjadikan negara ini negara federal yang disebut Republik Indonesia Serikat (RIS), terdiri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang perbatasannya ditentukan oleh “Garis Van Mook”, beserta enam negara bagian dan sembilan wilayah otonom yang dibuat oleh Belanda. Selama paruh pertama tahun 1950, negara-negara ini secara bertahap membubarkan diri seiring dengan ditariknya militer Belanda yang sebelumnya menopang mereka. Pada bulan Agustus 1950, dengan pembubaran negara terakhir, Negara Indonesia Timur, Soekarno mendeklarasikan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD Sementara 1950 yang baru saja dirumuskan

    Kepresidenan

    Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan Kedaulatan), Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS. Jabatan Presiden Republik Indonesia diserahkan kepada Mr Assaat, yang kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya. Namun karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali berubah menjadi Republik Indonesia dan Presiden Soekarno menjadi Presiden RI. Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan Presiden RI diserahkan kembali kepada Soekarno. Resminya kedudukan Presiden Soekarno adalah presiden konstitusional, tetapi pada kenyataannya kebijakan pemerintah dilakukan setelah berkonsultasi dengannya.

    Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat di kalangan rakyat dibandingkan terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri. Jatuh bangunnya kabinet yang terkenal sebagai “kabinet seumur jagung” membuat Presiden Soekarno kurang mempercayai sistem multipartai, bahkan menyebutnya sebagai “penyakit kepartaian”. Tak jarang, ia juga ikut turun tangan menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga berimbas pada jatuh bangunnya kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa di kalangan Angkatan Udara.

    Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menghasilkan Dasasila Bandung. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan konflik akibat “bom waktu” yang ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih mementingkan imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan munculnya perang nuklir yang mengubah peradaban, ketidakadilan badan-badan dunia internasional dalam penyelesaian konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Muhammad Ali Jinnah (Pakistan), U Nu, (Burma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya. Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang masih dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila ingat atau mengenal akan Indonesia

    Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional, Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao Tse Tung (Tiongkok).

    Bung Karno merencanakan kepada Presiden Kennedy ke Wisma Negara yang selesai dibangun pada tahun 1964 setelah Bung Karno menemui Kennedy di Gedung Putih, tetapi Presiden Kennedy dibunuh oleh Lee Harvey Oswald di Dealey Plaza, Dallas, Texas pada 22 November 1963. Kabar pembunuhan Presiden Kennedy oleh Lee Harvey Oswald sampai terdengar di telinga-nya yang tengah bersiap menggelar rapat dengan para menterinya di Istana Bogor, ia menyampaikan duka mendalam dan dia kehilangan salah satu sahabat dan sekutu terdekatnya, presiden Kennedy. Setelah pembunuhan Presiden Kennedy, Wisma Negara yang dikunjungi adalah Norodom Sihanouk, Raja Kamboja.

    Masa marabahaya

    Soekarno, Presiden Indonesia pertama, sedikitnya pernah mengalami percobaan pembunuhan lebih dari satu kali, Putrinya, Megawati Soekarnoputri pernah menyebut angka 23. “Saya ingin mengambil satu contoh konkret, Presiden Soekarno itu mengalami percobaan pembunuhan dari tingkat yang namanya baru rencana sampai eksekusi (sebanyak) 23 kali,” tutur Mega pada Juli 2009. Sementara itu, angka lebih kecil keluar dari mulut Sidarto Danusubroto. Dia ajudan presiden pada masa-masa akhir kekuasaan Soekarno. Sudarto pernah mengatakan ada 7 kali percobaan pembunuhan terhadap Soekarno. Jumlah ini pernah diamini oleh eks Wakil Komandan Tjakrabirawa, Kolonel Maulwi Saelan. Namun bekas pengawal pribadinya, hanya mampu mengingat 7 kali upaya percobaan pembunuhan

    Granat Cikini

    Pada 30 November 1957, Presiden Soekarno datang ke Perguruan Cikini (Percik), tempat bersekolah putra-putrinya, dalam rangka perayaan ulang tahun ke-15 Percik. Granat tiba-tiba meledak di tengah pesta penyambutan presiden. Sembilan orang tewas, 100 orang terluka, termasuk pengawal presiden. Soekarno sendiri beserta putra-putrinya selamat. Tiga orang ditangkap akibat kejadian tersebut. Mereka perantauan dari Bima yang dituduh sebagai antek teror gerakan DI/TII

    Penembakan Istana Presiden

    Pada 9 Maret 1960, Tepat siang bolong Istana presiden dihentakkan oleh ledakan yang berasal dari tembakan kanon 23 mm pesawat Mig-17 yang dipiloti Daniel Maukar. Maukar adalah Letnan AU yang telah dipengaruhi Permesta. Kanon yang dijatuhkan Maukar menghantam pilar dan salah satunya jatuh tak jauh dari meja kerja Soekarno. Untunglah Soekarno tak ada di situ. Soekarno tengah memimpin rapat di gedung sebelah Istana Presiden. Maukar sendiri membantah ia mencoba membunuh Soekarno. Aksinya hanya sekadar peringatan. Sebelum menembak Istana Presiden, dia sudah memastikan tak melihat bendera kuning dikibarkan di Istana – tanda presiden ada di Istana. Aksi ini membuat ‘Tiger’, call sign Maukar, harus mendekam di bui selama 8 tahun

    Pencegatan Rajamandala

    Pada April 1960, Perdana Menteri Uni Soviet saat itu, Nikita Kruschev mengadakan kunjungan kenegaraan ke Indonesia. Dia menyempatkan diri mengunjungi Bandung, Yogya dan Bali. Presiden Soekarno menyertainya dalam perjalanan ke Jawa Barat. Tatkala, sampai di Jembatan Rajamandala, ternyata sekelompok anggota DI/TII melakukan pengadangan. Beruntung pasukan pengawal presiden sigap meloloskan kedua pemimpin dunia tersebut

    Granat Makassar

    Pada 7 Januari 1962, Presiden Soekarno tengah berada di Makassar. Malam itu, ia akan menghadiri acara di Gedung Olahraga Mattoangin. Ketika itulah, saat melewati jalan Cendrawasih, seseorang melemparkan granat. Granat itu meleset, jatuh mengenai mobil lain. Soekarno selamat. Pelakunya Serma Marcus Latuperissa dan Ida Bagus Surya Tenaya divonis hukuman mati