PRESIDEN KE 2 INDONESIA YANG MERUBAH SEJARAH SOEHARTO
Soeharto (8 Juni 1921 – 27 Januari 2008) adalah Presiden Indonesia kedua yang menjabat sejak tahun 1968 sampai 1998. Sebelumnya ia pernah menjabat sebagai pejabat presiden sebelum akhirnya diangkat menjadi presiden. Secara luas ia dianggap sebagai diktator militer oleh pengamat internasional. Soeharto memimpin Indonesia sebagai rezim otoriter sejak kejatuhan pendahulunya Soekarno pada tahun 1967 hingga pengunduran dirinya pada tahun 1998 menyusul kerusuhan nasional.Kediktatorannya selama 32 tahun dianggap sebagai salah satu kediktatoran paling brutal dan korup di abad ke-20
Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa Hindia Belanda dan Kekaisaran Jepang, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Setelah Gerakan 30 September 1965, Soeharto kemudian melakukan operasi penertiban dan pengamanan atas perintah dari Presiden Soekarno, salah satu yang dilakukannya adalah dengan menumpas Gerakan 30 September dan menyatakan bahwa PKI sebagai organisasi terlarang. Berbagai kontroversi menyebut operasi ini menewaskan sekitar 100.000 hingga 2 juta jiwa
Soeharto kemudian diberi mandat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) sebagai Presiden pada 26 Maret 1968 menggantikan Soekarno, dan resmi menjadi presiden pada tahun 1968. Ia dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia merupakan orang terlama yang menjabat sebagai presiden Indonesia. Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie.
Keluarga
Orang Tua
Soeharto lahir pada tanggal 8 Juni 1921 dari seorang wanita yang merupakan ibunya, yang bernama Sukirah di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta. Kelahiran itu dibantu dukun beranak bernama Mbah Kromodiryo yang juga adalah adik kakek Sukirah, Mbah Kertoirono
Dalam otobiografinya, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, yang disusun G. Dwipayana, Sukirah digambarkan oleh Soeharto sebagai ibu muda yang sedang sulit memikirkan masalah-masalah rumah tangga. Namun, banyak catatan di buku-buku sejarah Soeharto lain yang banyak menyebutkan Sukirah sedang mengalami masalah mental yang amat sulit. Sebelum Soeharto (yang lahir 8 Juni 1921) berumur 40 hari, Sukirah harus menghadapi talak suaminya, Kertosudiro
Kertosudiro, seorang mantri ulu-ulu (pengatur irigasi) miskin yang kelak sebagai ayah Soeharto, tidak memainkan peran banyak dalam kehidupan Soeharto. Bahkan, banyak pengamat Soeharto, seperti R.E. Elson, beberapa biografi dan orang dekatnya, termasuk mantan Menteri Penerangan yang dekat dengan Soeharto, Mashuri, meyakini bahwa Kertosudiro bukanlah ayah kandung Soeharto. Pada tahun 1974, pernah muncul pemberitaan yang menghebohkan dari majalah gosip bernama ‘POP’ dengan liputan yang menurunkan kisah lama yang beredar bahwa Soeharto adalah anak dari Padmodipuro, seorang bangsawan dari trah Hamengkubuwono II.Soeharto kecil yang berumur 6 tahun dibuang ke desa dan diasuh oleh Kertosudiro. Hal ini kemudian dibantah keras oleh Soeharto. Dengan separuh murka, Soeharto mengadakan konferensi pers di Bina Graha bahwa liputan mengenai asal usul dirinya yang anak bangsawan bisa saja merupakan tunggangan untuk melakukan subversif. Soeharto dengan caranya sendiri ingin mengesankan bahwa dia adalah anak desa.
Ketidakjelasan asal-usul Soeharto secara genealogi sampai sekarang masih belum terpecahkan.Namun, dari semua itu, bayi Soeharto berada di dunia dengan kondisi keluarga yang kurang menguntungkan. Sukirah yang tertekan dan senang bertapa pernah ditemukan hampir mati di suatu tempat karena memaksa dirinya berpuasa ngebleng (tidak makan dan minum selama 40 hari) di suatu tempat yang tersembunyi, dan hilangnya sempat pernah membuat panik penduduk desa Kemusuk sehingga para penduduk mencarinya. Sadar dengan kondisi Sukirah yang kurang baik, keluarga Sukirah akhirnya memutuskan untuk menyerahkan pengurusan bayi Soeharto kepada kakak perempuan Kertosudiro
Istri dan anak-anak
Pada bulan Oktober 1947, Soeharto didatangi oleh keluarga Prawirowihardjo yang tidak lain merupakan paman sekaligus orang tua angkatnya. Mereka berencana menjodohkan Soeharto dengan Raden Ayu Siti Hartinah, anak KRMT Soemoharyomo. Soemoharyomo adalah seorang Wedana di Solo. Soeharto yang kala itu sudah berusia 26 tahun mengaku belum memiliki calon, bahkan ia juga belum pernah menjalin hubungan asmara dengan wanita manapun. Keluarganya khawatir jika Soeharto bakal menjadi bujang lapuk, mengingat mereka telah lama mengenal sifat Soeharto yang sangat pendiam, pasif dan cenderung pemalu. Akhirnya, rencana perjodohan keluarga Prawirodihardjo tersebut berjalan dengan lancar
Tanpa melalui proses pacaran, perkawinan antara Letnan Kolonel (Letkol) Soeharto dengan Siti Hartinah (yang kemudian dikenal dengan Tien Soeharto) segera dilangsungkan pada 26 Desember 1947 di Solo. Ketika itu, usia Soeharto 26 tahun, sedangkan Siti Hartinah berusia 24 tahun. Pasangan ini dikarunia enam putra-putri, yaitu Siti Hardiyanti Hastuti (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Hariyadi (Titiek), Hutomo Mandala Putra (Tommy), dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek)
Kehidupan awal
Masa kecil dan pendidikan
Soeharto tidak seperti anak desa lainnya yang harus bekerja di sawah. Dalam usia yang sangat muda, ia disekolahkan oleh Kertosudiro. Tidak ada berita-berita mengenai masa Soeharto di Sekolah Rakyat (setingkat SD). Kesan Soeharto pada masa SD itu hanya pada ingatannya tentang kerbau-kerbaunya. Dunia Soeharto hanya berkutat pada penggembalaan kerbau, jauh dari cerita-cerita anak yang didapat dari buku-buku yang kerap dibaca anak-anak SD. Hal ini berbeda misalnya dengan cerita Soekarno sewaktu dia masih di SD yang banyak berkisah tentang masa sekolahnya dan apa yang dibacanya, begitu juga dengan Hatta dan Sjahrir yang sejak kecil sudah akrab dengan Karl May atau cerita dari novel-novel Charles Dickens
Masa kecil Soeharto begitu banyak menyimpan kenangan pahit. Bukan hanya pahit, tapi juga menyakitkan hatinya. Seperti yang dialaminya saat SD, Soeharto kerap menjadi korban perundungan dari kawan-kawannya. Kelak, walau sudah berpuluh-puluh tahun perundungan itu masih terekam di kepalanya. Seperti, ejekan “Den Bagus tahi mabul! Den Bagus tahi mabul” dan “Harto sirah gede!”. Hal tersebut membuat Soeharto kecil dikenal sebagai siswa yang sangat pendiam dan tertutup, bahkan paling pendiam diantara kawan-kawan sekolahnya pada kala itu. Selain dengan kawan-kawannya, kenangan menyakitkan juga ia alami dengan buyutnya, Mbah Notosudiro yang memperlakukan Soeharto kecil berbeda dari saudara-saudaranya yang lain. Kenangan pahit dan menyakitkan yang dialami Soeharto kecil, membuatnya bertekad keras untuk menjadi orang yang kaya dan berkedudukan tinggi di masa depan
Ketika semakin besar, Soeharto tinggal bersama kakeknya, Mbah Atmosudiro, ayah dari ibunya. Soeharto sekolah ketika berusia delapan tahun, tetapi sering berpindah. Semula disekolahkan di Sekolah Dasar (SD) di Desa Puluhan, Godean. Lalu, pindah ke SD Pedes (Yogyakarta) lantaran ibu dan ayah tirinya, Pramono, pindah rumah ke Kemusuk Kidul. Kertosudiro kemudian memindahkan Soeharto ke Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah. Soeharto dititipkan di rumah bibinya yang menikah dengan seorang mantri tani bernama Prawirowihardjo. Soeharto diterima sebagai putra paling tua dan diperlakukan sama dengan putra-putri Prawirowihardjo. Soeharto kemudian disekolahkan dan menekuni semua pelajaran, terutama berhitung. Dia juga mendapat pendidikan agama yang cukup kuat dari keluarga bibinya
Kegemaran bertani tumbuh selama Soeharto menetap di Wuryantoro. Di bawah bimbingan pamannya yang mantri tani, Soeharto menjadi paham dan menekuni pertanian. Sepulang sekolah, Soeharto belajar mengaji di langgar bersama teman-temannya, bahkan dilakukan sampai semalam suntuk. Ia juga aktif di kepanduan Hizbul Wathan dan mulai mengenal para pahlawan seperti Raden Ajeng Kartini dan Pangeran Diponegoro dari sebuah koran yang sampai ke desa.
Setamat Sekolah Rendah (SR) empat tahun, Soeharto disekolahkan oleh orang tuanya ke sekolah lanjutan rendah di Wonogiri. Setelah berusia 14 tahun, Soeharto tinggal di rumah Hardjowijono. Hardjowijono adalah teman ayahnya yang merupakan pensiunan pegawai kereta api. Hardjowijono juga seorang pengikut setia Kiai Darjatmo, tokoh agama terkemuka di Wonogiri waktu itu.
Karena sering diajak, Soeharto sering membantu Kiai Darjatmo membuat resep obat tradisional untuk mengobati orang sakit. Pada tahun 1935 Soeharto kembali ke kampung asalnya, Kemusuk, untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah di Yogyakarta. Hal tersebut dilakukannya karena di sekolah itu siswanya boleh mengenakan sarung dan tanpa memakai alas kaki (sepatu). Pada masa ini Soeharto yang kulino meneng (pendiam) hanya memiliki satu sahabat karib, yaitu Sulardi, adik sepupunya, saudara kandung Sudwikatmono dan teman sekelas Ibu Tien Soeharto saat bersekolah di Ongko Loro. Sulardi setia menemaninya bermain dan berpetualang seperti anak desa di waktu itu.
Riwayat Pekerjaan
Setamat SMP pada tahun 1938, Soeharto sebenarnya ingin melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Apa daya, ayah dan keluarganya yang lain tidak mampu membiayai karena kondisi ekonomi. Soeharto pun berusaha mencari pekerjaan kesana kemari, tetapi gagal. Ia kembali ke rumah bibinya di Wuryantoro. Ia pun mendapatkan pekerjaan sebagai pembantu klerek/ clerk (pegawai) pada sebuah Bank Desa (Volksbank), Soeharto pun bekerja dengan mengikuti sang klerek berkeliling kampung menggunakan sepeda dan pakaian Jawa lengkap, kain blangkon serta baju beskap. Karirnya sebagai pembantu klerek pun tamat dalam waktu singkat ketika kainnya sobek usai turun dari sepeda yang sudah reot. Kain itu tersangkut pada sadel yang menonjol keluar. Padahal itu adalah satu-satunya kain yang bisa dipakainya untuk bekerja. Saat itu dia dicela klerek dan dimarahi sang bibi, Ibu Prawirowihardjo. Sejak itu, Soeharto yang kelak memimpin Indonesia menjadi pengangguran lagi.
Hari-harinya diisi dengan kegiatan gotong-royong, membantu keluarga dan sesekali bekerja serabutan. Ia terus mencoba untuk melamar berbagai pekerjaan, seperti melamar menjadi pegawai kereta api hingga melamar sebagai pegawai bank milik Belanda di Semarang, namun hasilnya selalu gagal. Pada masa inilah Soeharto terus mengasah kemampuan spiritualnya dengan cara menjalani tirakat, seperti berpuasa sebagai wujud laku prihatin.
Setelah bertahun-tahun mencari pekerjaan, Soeharto di ajak seorang temannya dari Wonogiri untuk mendaftar pada Angkatan Laut Kerajaan Belanda dengan posisi sebagai juru masak kapal, ia tidak terlalu tertarik pada posisi tersebut, terlebih pada saat yang bersamaan, yaitu awal tahun 1940 ia mendengar kabar akan di buka lowongan pendidikan Corps Opleiding Reserve Officieren (CORO) Koninklijk Nederlands Indische Leger (KNIL) atau Korps Pendidikan Perwira Cadangan di Bandung. Ia mencoba mendaftar, tetapi gagal. Cita-citanya menjadi perwira kandas pada saat itu, Soeharto pun kembali menganggur.
Soeharto tak putus asa, suatu hari pada pertengahan tahun 1940 ia membaca pengumuman penerimaan Bintara KNIL di Gombong, Jawa Tengah. Ia mendaftarkan diri dan diterima, ia resmi menjadi tentara pada usia 21 tahun (1942). Waktu itu, ia hanya sempat bertugas tujuh hari dengan pangkat sersan karena Belanda menyerah kepada Jepang. Sersan Soeharto kemudian pulang ke Dusun Kemusuk. Justru di sinilah, karier militernya dimulai.
Karier militer
Pada 1 Juni 1940, ia diterima sebagai siswa di sekolah militer di Gombong, Jawa Tengah. Setelah enam bulan menjalani latihan dasar, ia tamat sebagai lulusan terbaik dan menerima pangkat kopral. Ia terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong. Soeharto resmi bergabung dengan pasukan kolonial Belanda, KNIL saat Perang Dunia II sedang berkecamuk. Ia dikirim ke Bandung untuk menjadi tentara cadangan di Markas Besar Angkatan Darat selama seminggu dengan pangkat sersan.
Nasib Soeharto kembali apes, tanggal 8 Maret 1942, Belanda menyerah pada Jepang. Berakhir pulalah kiprahnya di KNIL. Soeharto pun kembali menumpang di rumah bibinya di Wuryantoro, ia kembali menganggur. Pada rentang waktu ini, Soeharto terserang penyakit malaria yang menyebabkan dirinya harus dirawat lama di rumah sakit. Setelah pulih, karena tak memiliki uang dan tidak enak hanya sekedar menumpang, Soeharto meminta bantuan sang paman, Prawirowihardjo yang berprofesi sebagai penyuluh (mantri) tani untuk mencarikannya pekerjaan. Namun, sang paman hanya dapat memberikannya pekerjaan sekedar untuk mendampingi dan mempersiapkan keperluan pekerjaan pamannya sebagai penyuluh pertanian. Soeharto menerima dan menjadikannya sebagai kesempatan untuk mempelajari Ilmu Pertanian dari sang paman, meski dalam waktu yang singkat.
Bosan menganggur, Soeharto mencoba mendaftar jadi Keibuho atau polisi Jepang pada November 1942. Ia mengaku sedikit takut jika identitasnya sebagai bekas tentara Belanda ketahuan. Tetapi akhirnya memberanikan diri mendaftar dan diterima. Dengan cerdik dan hati-hati ia berusaha keras untuk menyembunyikan identitasnya sebagai bekas tentara Belanda. Soeharto lulus pendidikan polisi sebagai salah satu lulusan terbaik. Jelas saja, ia sudah mahir karena pernah mengikuti pendidikan bintara KNIL Belanda
Saat itulah atasan Soeharto di kepolisian memberi tahu ada pendaftaran Tentara Pembela Tanah Air (PETA), pasukan militer yang disponsori Jepang. Perwira Jepang itu menyarankan Soeharto mendaftar masuk PETA, ia kemudian menjadi perwira magang/pembantu letnan yang berdinas di Karanganyar, Kebumen. Setelah masa percobaannya selesai dan dianggap layak, ia pun mengikuti pendidikan militer lanjutan di Bogor, Jawa Barat, ia diangkat menjadi Chudancho (komandan kompi ). Di asrama Peta Bogor ia tinggal bersama-sama dengan Shodanco Singgih, Putra Panji Singgih teman seperjuangan Soekarno. Berikutnya sebagai Chudancho di Seibu, markas besar PETA di Solo, kemudian dimutasi ke Kaki Gunung Wilis di desa Brebeg Selatan Madiun untuk melatih prajurit PETA.
Pada 17 Agustus 1945 Indonesia resmi mengumumkan kemerdekaan, kemudian secara resmi diangkat menjadi anggota TNI per 5 Oktober 1945 dengan pangkat letnan. Tidak lama kemudian, berkat reputasi dan pengalamannya di PETA, Ia kemudian ditunjuk sebagai komandan batalyon dengan pangkat mayor. Pada tahun 1946, pangkatnya kembali naik menjadi komandan resimen yang berpangkat letnan kolonel atau overste.
Setelah Perang Kemerdekaan berakhir, ia tetap menjadi Komandan Brigade Garuda Mataram dengan pangkat letnan kolonel. Ia memimpin Brigade Garuda Mataram dalam operasi penumpasan pemberontakan Andi Azis di Sulawesi. Kemudian, ia ditunjuk sebagai Komandan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) Sektor Kota Makassar yang bertugas mengamankan kota dari gangguan eks KNIL/KL.
Pada 1 Maret 1949, ia ikut serta dalam serangan umum yang berhasil menduduki Kota Yogyakarta selama enam jam. Inisiatif itu muncul atas saran Sri Sultan Hamengkubuwono IX kepada Panglima Besar Soedirman bahwa Brigade X pimpinan Letkol Soeharto segera melakukan serangan umum di Yogyakarta dan menduduki kota itu selama enam jam untuk membuktikan bahwa Republik Indonesia (RI) masih ada.
Pada usia sekitar 32 tahun, tugasnya dipindahkan ke Markas Divisi dan diangkat menjadi Komandan Resimen Infanteri 15 dengan pangkat letnan kolonel (1 Maret 1953). Pada 3 Juni 1956, ia diangkat menjadi Kepala Staf Panglima Tentara dan Teritorium IV/Diponegoro di Semarang. Dari Kepala Staf, ia diangkat sebagai pejabat Panglima Tentara dan Teritorium IV/Diponegoro. Pada 1 Januari 1957, pangkatnya dinaikkan menjadi kolonel.
Lembaran hitam juga sempat mewarnai perjalanan militernya. Ia pernah dipecat oleh Jenderal Nasution sebagai Pangdam Diponegoro. Peristiwa pemecatan terjadi pada 17 Oktober 1959 tersebut akibat ulahnya yang diketahui menggunakan institusi militernya untuk meminta uang dari perusahaan-perusahan di Jawa Tengah. Kasusnya hampir dibawa ke pengadilan militer oleh Kolonel Ahmad Yani. Atas saran Jenderal Gatot Soebroto saat itu, dia dibebaskan dan dipindahkan ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung, Jawa Barat. Pada usia 38 tahun, ia mengikuti kursus C SSKAD (Sekolah Staf dan Komando AD) di Bandung. Sebenarnya, secara kepangkatan Soeharto sudah terlambat untuk mengikuti kursus tersebut, pada saat itu Kursus SSKAD biasanya diikuti oleh perwira yang berpangkat Letnan Kolonel (Letkol) yang akan naik pangkat menjadi Kolonel.
Pangkat Soeharto dinaikkan menjadi brigadir jenderal pada 1 Januari 1960. Ia berhasil meraih bintang di pundaknya, meski sebelum lulus kursus di SSKAD hanya pernah mengenyam pendidikan militer setingkat bintara. Banyak para Jenderal kala itu meragukan kualitas intelektualnya untuk menjadi Jenderal. Namun, Soeharto juga dikenal sebagai seorang perwira lapangan yang handal selama masa perjuangan dengan kekuatannya, yaitu pengalaman, kecerdikan, intuisi, kepemimpinan, kecerdasan emosi hingga kejelian/keberuntungannya dalam membaca setiap kesempatan, meskipun Ia tidak pernah mengenyam pendidikan formal/informal yang memadai atau kursus militer di luar negeri. Akhirnya, atas peran Letnan Jenderal Gatot Soebroto Ia diangkat sebagai Deputi I Kepala Staf Angkatan Darat.
Pada 1 Oktober 1961, jabatan rangkap sebagai Panglima Korps Tentara I Caduad (Cadangan Umum AD) yang telah diembannya ketika berusia 40 tahun bertambah dengan jabatan barunya sebagai Panglima Kohanud (Komando Pertahanan AD). Pada tahun 1961 tersebut, ia juga mendapatkan tugas sebagai Atase Militer Republik Indonesia di Beograd (Yugoslavia), Paris (Perancis), dan Bonn (Jerman Barat). Di usia 41 tahun, pangkatnya dinaikkan menjadi mayor jenderal (1 Januari 1962) dan menjadi Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dan merangkap sebagai Deputi Wilayah Indonesia Timur di Makassar. Sepulang dari kawasan Indonesia Timur, Soeharto yang telah naik pangkat menjadi mayor jenderal, ditarik ke markas besar ABRI oleh Jenderal Abdul Haris Nasution.
Di pertengahan tahun 1962, Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) hingga 1965. Sekitar setahun kemudian, tepatnya, 2 Januari 1962, Brigadir Jenderal Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat. Kemudian ia diangkat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) pada 1 Mei 1963. Mayor Jenderal Soeharto lalu dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat dan segera membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya. Ia membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) untuk mengimbangi G-30-S yang berkecamuk pada 1 Oktober 1965. Dua hari kemudian, tepatnya 3 Oktober 1965, Mayjen Soeharto diangkat sebagai Panglima Kopkamtib. Jabatan ini memberikan wewenang besar untuk melakukan pembersihan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai pelaku G-30-S/PKI.
Riwayat pekerjaan
- Pembantu Klerek Bank Desa (Volk-Bank) di Kemusuk, Yogyakarta (1938)
- Siswa Sekolah Bintara KNIL di Gombong (1940—1942)
- Tentara Cadangan Markas Besar Angkatan Darat KNIL (1942)
- Pembantu/asisten Mantri Tani di Wuryantoro, Wonogiri (1942)
- Siswa Keibuho (Polisi Jepang) Jepang (1942)
- Komandan Regu dan Pembantu Perwira PETA di Karanganyar, Kebumen (1942—1943)
- Siswa Pendidikan Militer Lanjutan PETA di Bogor (1943—1944)
- Komandan Peleton (Shodanco) PETA di Glagah, Wates (1944)
- Komandan Kompi (Cudanco) di Markas Besar PETA di Surakarta (1944)
- Komandan Kompi (Cudanco) Perwira pendidik PETA di Desa Brebeg, Jawa Timur (1944—1945)
- Letnan di Brigade Mataram, Yogyakarta (1945)
- Komandan Batalyon infanteri di Kebumen dengan pangkat Kapten – Mayor (1945—1946)
- Komandan Batalyon X di bawah Divisi IX di Yogyakarta dengan pangkat Mayor (1946—1948)
- Komandan Brigade Mataram – Wehrkreise III di Yogyakarta dengan pangkat Letnan Kolonel (1948—1950)
- Komandan Komando Resimen Salatiga dengan pangkat Letnan Kolonel (1950—1953)
- Komandan Resimen Infanteri 15 di Solo dengan pangkat Letnan Kolonel (1953—1956)
- Kepala Staf Teritorium IV/Diponegoro di Semarang dengan pangkat Letnan Kolonel (1956—1957)
- Panglima Teritorium IV/Diponegoro di Semarang dengan pangkat Kolonel (1957—1959)
- Siswa Sekolah Staf Komando Angkatan Darat/SSKAD (1959—1960)
- Deputi I Kepala Staf Angkatan Darat dengan pangkat Brigadir Jenderal (1960—1961)
- Panglima Korps Tentara Cadangan Umum Angkatan Darat/CADUAD dengan pangkat Brigadir Jenderal (1961)
- Atase Militer/Hankam di Beograd, Yugoslavia (1961)
- Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dengan pangkat Mayor Jenderal (1962)
- Panglima Komando Strategis Angkatan Darat dengan pangkat Mayor Jenderal (1962—1965)
- Menteri/Panglima Angkatan Darat dengan pangkat Mayor Jenderal – Letnan Jenderal (1965—1968)
- Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban/Kopkamtib (1965—1969)
- Ketua Presidium Kabinet Ampera I (1966—1967)
- Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ABRI merangkap Menteri Pertahanan dengan pangkat Jenderal (1968—1973)
- Pejabat Presiden Republik Indonesia (1967—1968)
- Presiden Republik Indonesia (1968—1998)
- Sekretaris Jenderal Gerakan Non Blok (1992—1995)
Tempat bermain slot yang asik : Mahkota69
Tinggalkan Balasan